Sebut saja namanya Ahmad, begitu saya memanggilnya. Dia ini yang mempunyai toko kelontong di sekitar maktab yang menjual berbagai macam kebutuhan jamaah. Saya mengenalnya pertama kali saat melakukan orientasi lapangan, selanjutnya terjadi interaksi dengannya di luar transaksi jual beli.
Dia mengenal presiden RI hanya Abdulrahman Wahid, bahkan sampai pemerintahan sekarang. Saya kasih tahu kalau sekarang presidennya sudah SBY (beberapa kali dia kesulitan mengeja nama lengkap SBY), tetap saja Gusdur deh.
Karena akrab tadi, seringkali dia memberikan harga murah. Banyak referensi saya berikan agar dia jualan ini-itu yang pasti akan dibeli oleh jamaah Indonesia. Benar saja, dia mulai kulakan barang-barang produk Indonesia seperti kopi kapal api, pop mie, atau indomie (mie instant Indonesia produksi arab sebelumnya sudah ada), tetapi harganya sampai 5 s/d 7kali lipat. Kalau sayur-sayuran harganya wajar saja, ada kacang panjang, kangkung, buncis, gambas dan terong.
“Special for you,” demikian katanya setiap kali memberikan harga murah atau tambahan satu butir telur/apel/buah pier setiap kali saya membeli 1 atau 2 kg.
Ahmad, seperti kebanyakan toko di Mekkah atau Madinah, akan menutup tokonya sementara ketika azan terdengar. Dia akan ke masjid dulu. Ketika melihat saya gundul, saya dipeluk sambil ngomong bahasa inggris campur bahasa arab, maklum kami berpisah selama 5 hari karena kepergian saya ke Arafah. Dia juga bertanya kepada saya, kapan jamaah pergi ke Madinah, ini untuk memperhitungkan jumlah stock barang-barang di tokonya yang “berbau” Indonesia. Hari terakhir kami di Mekkah, toko si Ahmad ini sudah “bersih”, dia mengadakan diskon besar-besaran.
Apakah saya mendapatkan “special for you” dari Ahmad? Betul, saya mendapatkan barang-barang yang berharga 1 riyal di mana sebelumnya berharga 5 riyal.