Selasa pagi. Anak saya yang kecil, keluar dari kamar mandi menangis. Sambil mengelap tubuhnya dia menghampiri saya yang akan masuk kamar mandi. Dia bertanya, “Pa, donut krispiku mana?” Dan dia semakin sesenggukan saja, ketika saya jawab bahwa semalam donut itu sudah saya makan. Untuk meredakan tangisnya, saya ucapkan kata maaf berkali-kali. Saya menyesal setengah mati telah menikmati donut krispi anak saya. Ketika saya tawarkan donut yang lain yang masih ada di kulkas, dia menolak. Dia hanya mau sarapan dengan donut krispi.
Hari minggu sebelumnya, anak-anak beli donut. Seperti biasanya beli tidak terlalu banyak, hanya setengah lusin. 2 biji untuk anak saya yang besar, 2 biji untuk si kecil dan 2 sisanya untuk saya. Dari dulu, pesanan saya selalu sama : donut bertabur kacang dan donut krispi. Senin malam saya lihat di kulkas ada 3 donut, 2 di antaranya “jatah” saya. Tanpa ragu saya ambil satu, yang krispi itu, sebagai teman menikmati kopi pahit malam hari.
Pagi harinya, donut krispi itu ternyata diklaim milik anak saya. Tangis si kecil reda, ketika saya janjikan beli donut yang sama sebelum ke sekolah nanti. Jam 6 kurang 10, saya dan anak-anak keluar rumah. Lewat depan dunkin’ donut kok belum buka, langsung saja ke sekolah anak saya yang besar, dari sana baru mampir ke dunkin’ donut lagi.
Donut masih ditata ke rak-rak etalase ketika saya masuk ke dunkin’. Saya beli 2 biji sesuai pilihan anak saya, tentu saja yang krispi itu. Saya raba saku belakang celana, saya terkejut. Saya lupa membawa dompet. Harga donut yang harus saya bayar 12.000 rupiah. Saya kembali ke mobil, mencari uang receh yang biasa saya pakai untuk bayar parkir. Alhamdulillah, cukup untuk membayar donut. Hampir saja saya membuat kecewa anak saya lagi.
Dalam perjalanan ke sekolah, dia nikmati donut krispi itu. Rakus. Melihat dia makan dengan lahap, saya urung mengajukan pertanyaan kepadanya. Saya ingin bertanya kok tumben pengin makan donut krispi yang selama ini dia tidak suka.
Semalam, 2 donut masih teronggok di kulkas. Pagi tadi saya tawarkan ke anak-anak, mereka tidak berminat. Akhirnya saya nikmati sebagai sarapan pagi saya.
Hampir empat belas tahun saya menjadi bapak dari anak-anak saya, ternyata saya masih belum bisa memahami keinginan-keinginan mereka.