Tersebutlah satu cerita di habitat kehidupan pinggiran hutan. Komunitas siput sedang mengadakan pertemuan, dengan satu agenda ingin mengalahkan si Kancil dalam pertandingan “adu cepat sampai ke tempat tujuan”. Karena ini sesuatu yang mustahil maka mereka mengadakan pertemuan rahasia, untuk menyusun strategi. Kancil yang terkenal cerdik dan pandai itu sekali-sekali harus dipermalukan, karena kehebatan si Kancil tidak seperti yang diduga banyak kalangan perbinatangan. Target berikutnya, membuat Baginda yang menjadi junjungan mereka di habitat hutan tidak mempercayai si Kancil lagi. Hasil rapat memerintahkan si Bekicot sebagai duta untuk menantang si Kancil.
Tidak sulit bagi Bekicot menemui tempat kesukaan Kancil merumput setiap harinya. Begitu bertemu dengan Kancil, to the point dia utarakan maksudnya menantang Kancil adu lari. Tanpa berpikir panjang, si Kancil menerima tantangan itu. Disepakati bersama, adu lari diawali dari pohon waru di pinggiran sungai dan berakhir di bukit kecil dekat air terjun. Adu lari dimulai esok hari.
Malam harinya, komunitas siput mempersiapkan segala sesuatunya. Pagi hari menjelang terbit matahari semua persiapan itu selesai sudah, Bekicot dengan menunggu di bawah pohon waru. Bekicot sungguh gelisah menunggu kedatangan si Kancil. Ketika hari telah terang tanah, si Kancil datang, dan berkata, “maaf kawan, aku terlambat datang. Aku tadi mencari tasku ini dulu. Untung ketemu”.
Bekicot sempat heran juga, kenapa si Kancil datang membawa tas, kemudian berkata kepada si Kancil, “memang itu tas apa Cil? Kancil pun menjawab, “ini tas untuk menaruh makanan dan minumanku, jangan sampai ketika adu lari nanti aku kelaparan dan kehausan, makanya aku membawa bekal”. Bekicot tertawa dalam hati, “ternyata Kancil ciut juga nyalinya”.
Pertandingan pun dimulai. Kancil berlari-lari kecil saja, langkahnya jauh lebih cepat daripada langkah-langkah Bekicot. Tanpa terasa, tubuh Bekicot sudah tidak nampak lagiu ketika Kancil menengok ke belakang. Kancil pun berhenti, duduk di bawah pepohonan.
“Hoiii…Ciilll… kenapa kamu duduk-duduk saja di situ…aku sudah ada di depanmu nih..!!”, dari kejauhan Bekicot meneriakinya. Dia pun segera beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Bekicot.
“Hebat sekali kamu bisa lari secepat itu, pakai ilmu apa sih?. Aku kira kamu masih di belakangku. Kamu pasti haus dan lapar, kita makan dan minum dulu ya” Kancil menawarkan bekalnya kepada Bekicot. Mereka berdua menikmati bekal yang dibawa si Kancil, sesekali si kancil memuji kehebatan Bekicot.
Pertemuan dengan Bekicot seperti itu berulang-ulang terjadi, hingga akhirnya Kancil berlari mendekati bukit dekat air terjun. Di sana telah berkumpul para penghuni hutan. Mereka bersorak-sorai menyambut keterlambatan si Kancil sampai di bukit. Di antara kerumunan telah ada Bekicot yang telah sampai duluan di tempat itu. Ejekan kepada Kancil makin riuh saja.
“Bagaimana Cil, kamu mengakui kehebatanku bukan?” kata Bekicot. Sorak-sorai makin membahana, mereka mengelu-elukan Bekicot.
“Tunggu dulu kawan… aku belum kalah…” kata Kancil, tetapi disambut dengan teriakan, “Hhhuuuuuuuuuu…!!!” dari para penonton.
Kancil berjalan ke tempat yang agak tinggi dan dengan wibawanya dia berkata, “Pertandingan adu lari ini penuh dengan tipu muslihat. Ada kelicikan di sana. Bagaimana mungkin, siput yang jalannya sangat lambat begitu bisa mengalahkan jalan binatang yang berkaki. Siput yang terlibat adu lari ini ada sepuluh, tidak hanya satu”. Semua terdiam, ketika Kancil minta bantuan Kanguru menjemput para siput di sepanjang pinggiran sungai mulai dari pohon waru.
“Lihatlah teman-teman apa yang dibawa Kanguru. Coba, kamu keluarkan dari kantongmu kawan, ada berapa banyak siput yang kamu bawa?” Dan ternyata benar kata Kancil, di dalam kantong Kanguru ada sembilan siput, genap sepuluh dengan siput yang telah berada di bukit. Semua terpana atas kecerdikan Kancil.
Kanguru pun bertanya kepada Kancil, “Bagaimana kamu bisa tahu kalau mereka ini berjumlah sepuluh, Cil?”
“Begini kawan. Kisah Kancil kalah adu lari dengan siput sudah jadi legenda. Itu terjadi di masa silam, di masa nenek moyang kita dulu. Aku, Kancil di masa sekarang tidak mau mengulang kesalahan itu. Aku belajar dari sejarah. Sekarang akan aku buktikan, kalau aku belajar dari masa kesalahan masa lalu. Siput-siput itu telah aku tandai di cangkangnya. Itu sebagai tanda kalau aku pernah bertemu dengannya. Para siput tidak menyadari, ketika tadi aku ajak makan dan minum, diam-diam aku tandai punggung mereka”.
Siput yang mendengar penuturan Kancil menundukkan kepalanya. Mereka malu, karena seluruh penghuni hutan mengetahui kelicikan mereka.
“Jadi, ambilah hikmah dari setiap peristiwa. Tapi dalam melihat masa lalu jangan kamu tengokkan kepalamu ke belakang, tetaplah menghadap ke depan!” Kancil menasihati teman-temannya.
“Maksud-e piye toh Cil?” tanya si Kebo, yang sejak tadi bengong saja sambil ngeces. Dengan tersenyum Kancil menjawab, “Tanyakan saja pada mas Guskar yang lagi mendongeng cerita ini!”
Sialan si Kancil ini, kok malah saya yang diminta menjawab pertanyaan si Kebo. Terpaksa deh saya jawab, biar segera berakhir dongeng ini. “Begini loh Bo, maksud si Kancil. Menengok masa lalu itu seperti kita melihat kaca spion. Supaya mobil yang kita setir tetap on the track dan penumpang yang kita bawa selamat, tetap arahkan pandangan ke depan, kejadian di belakang kita cukup dilihat dari kaca spion. Itu pun dengan cara dilirik saja. Paham ora, Bo?”