Opera Van Gontor

Satu minggu menjelang ramadhan aku sudah berada di rumah, berkumpul bersama keluarga. Yang membuatku terus berpikir keras adalah bagaimana cara menjual lima kalender bergambar bangunan-bangunan masjid di tanah air, yang ditugaskan pihak Pondok padaku.

Pada pidato perpisahan Pak Zar mengatakan, “Para santri diharuskan untuk menjualkan minimal lima kalender, hasilnya full untuk membangun masjid yang sedang dibangun. Menjual kalender merupakan amal jariah dan latihan dalam bermasyarakat, karena kalian pasti berhadapan dengan masyarakat nantinya.”

Atas persetujuan Bapak, aku menawarkan kepada family kami di depan rumah, pemilik kelontong yang cukup berhasil, ia juga pernah nyantri beberapa waktu di Gontor. Tapi tak kusangka dia menolak. “Buat apa kalender seperti itu, kalender gratis bergambar promosi barang-barang jauh lebih bagus,” jawabnya. Aku pun beringsut kecut pamit meninggalkannya.

Bapak diam tidak berkata apa-apa menyambut lamporan pengalamanku. Dengan kejadian itu aku merasa kapok melangkah. Setelahnya, sama sekali aku tidak mau dipusingkan oleh kalender ini.

Aku tak mau berpikir dan bertindak lagi! Laku atau tidak aku tidak mau mikir, pusing! Aku tidak mau menjualkannya… kataku dalam hati.

Namun beberapa hari kemudian Bapak mengatakan, “Ya sudah, kalau kamu tidak mampu menjualkan kalender, tidak usah dipaksakan. Nanti Bapak yang akan membayar.” Aku hanya dapat berkata terima kasih menanggapi perkataan Bapak yang cukup menenangkan hati. Kataku dalam hati, aku sebenarnya berharap yang memiliki kalender itu bukan Bapak, tapi orang lain yang ingin berderma. Tapi apa daya, aku tidak tahu lagi ke mana mesti aku tawarkan. Aku tidak mempunyai relasi dermawan untuk itu. Bapakku sudah cukup banyak mengeluarkan biaya kebutuhanku di Gontor. Yang dibiayai sekolah oleh Bapak bukan hanya aku, tapi juga saudaraku yang lain. Bukankah membiayai aku nyantri ke Gontor ini amal jariah? Bukan amal jariah lagi, tapi sudah merupakan jihad! kata hatiku.

~oOo~

Kisah di atas saya cuplikkan dari novel Opera Van Gontor halaman 117 – 118. Novel kronik pengalaman nyantri di Gontor ini ditulis apa adanya, menggelitik, dan cerdas. Inilah potret pesantren modern pada era 70-an, ditulis oleh Amroeh Adiwijaya setebal 293 halaman diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2010.
Pada bagian Pendahuluan penulis mengatakan bahwa novel ini sekedar catatan ringan selama menjadi santri di Gontor empat puluh tahun yang lalu, bukan bercerita sejarah Pondok Modern Gontor.
Pada edisi pertama (terbatas) – diterbitkan oleh UM Press, novel ini diberi judul Don’t Cry for Me Gontor, dengan penjelasan kepada segenap pembaca tentang penekanan arti cry. Untuk edisi kedua judul novel ini menjadi Opera Van Gontor, dengan banyak revisi dan tambahan sumbangan kata sambutan dari KH Hasyim Muzadi. Lalu apakah novel ini alur dan gaya bertuturnya sama seperti di lakon Opera Van Java yang didalangi oleh Parto Patrio itu?