Sebagai juragan rumah petak yang jumlahnya hampir seratus dua puluh pintu itu, Haji Mukron uangnya sangat banyak. Pada tahun 2000-an, ia mengajak anak dan mantunya naik haji. Tentu saja ia yang mengongkosi rombongan keluarga yang berjumlah delapan belas orang itu. Pada waktu itu, untuk naik haji tidak perlu pakai daftar tunggu. Mendaftar pada tahun itu, berangkat pada tahun yang sama.
Lain dulu, lain sekarang. Untuk pergi haji kudu antri paling tidak tujuh hingga dua belas tahun! Hal ini membuat was-was Haji Mukron, bagaimana untuk lima atawa sepuluh tahun mendatang? Berapa lama daftar tunggunya?
Jumlah orang yang ingin naik haji dari tahun ke tahun meningkat pesat, meskipun ongkos naik haji cenderung semakin besar dari tahun sebelumnya. Tapi hal itu tak menyurutkan minat dan semangat orang yang ingin naik haji.
Ini fenomena yang menarik. Semakin meningkatkah pemahaman agama kaum muslimin, terutama dalam memenuhi kewajiban menunaikan rukun Islam kelima? Atawa karena semakin mudah untuk mendapatkan “nomor kursi” yang difasilitasi oleh Bank Syariah dengan dana talangan haji? Konon, dengan setor lima juta rupiah, nasabah dijamin mendapatkan porsi tahun kapan bisa berangkat ke Mekkah.
Pemerintah harus segera membuat ketentuan untuk mengatur semua itu dengan berdasarkan asas keadilan, misalnya orang yang pernah naik haji dalam jangka waktu tertentu tidak boleh naik haji lagi, bukan sekedar himbauan seperti yang berlaku selama ini. Bukankah semasa hidupnya, Kanjeng Nabi hanya sekali naik haji?
Haji Mukron menghitung tabungannya untuk naik haji, bukan untuk dirinya atawa untuk dua istrinya, atawa untuk anak-anaknya. Tetapi untuk ongkos naik haji para cucunya. Bahkan untuk cucunya yang kini berumur 2 tahun!
Perhitungan sederhananya, jika ternyata nanti masa tunggu naik hajinya masuk ke angka 15 tahun, berarti sang cucu akan mendapatkan jatah diberangkatkan ke Tanah Haram ketika sang cucu sudah berumur 17 tahun!