Pada suatu sore, waktu saya nglaras sembari sekali-sekali me-nyeruput teh bikinan Ms. Nansiyem yang bukan gi-nas-tel, bukan legi-panas-kentel, tetapi it-nas-wer, pahit-panas-cuwer, Mr. Rigen datang membawa koran Kedaulatan Rakyat.
“Jadi Prof. Koesnadi itu saestu, jadi seleh keprabon, tidak menjabat rektor lagi nggih, Pak?”
“Kamu itu tahu dari mana?”
“Lha, ini dari koran. Waktu beliau bercengkerama sama para wartawan.”
“Belum. Belum berhenti. Sampai timbang terima nanti beliau masih aktif. Ada apa to Gen. Kok bolehnya serius.”
“Nggih mboten napa-napa. Saya itu jadi ingat waktu kepala sekolah SD Pracimantoro dulu dipindah ke Wonogiri naik pangkat menjadi penilik sekolah.”
“Elho. Jadi rektor itu menurut kamu sama dengan kepala sekolah ndeso, to?”
“Ha enggih sama-sama gurunya to, Pak. Tur Prof. Koesnadi itu tempo hari bilang tidak keberatan, malah bangga. Nggadjah Mada dibilang universitas ndeso gitu loh, Pak.”
“Saya tertawa. Kagum mengikuti urutan logikanya.
“Yo wis, yo wis, semua dosen di sini guru ndeso semua. Terus bagaimana?”
“Lho itu sakumpama, Pak. Ya tidak to kalau guru seperti Prof. Koesnadi, Prof. Doktor Lemahamba apa itu guru ndeso. Jeneh bagaimana kalau kebetulan.”
“Terus, terus bagaimana ceritamu dengan kepala sekolahmu dulu itu?”
“Lha, begini, Pak Sastrasusastra Padmasusastra Suratingsastra itu…”
“Saya potong dulu, Gen. Nama gurumu itu kok bolehnya pendek dan bolehnya sedikit jumlah sastranya itu gek waktu lahir ada lampor berapa kompi lewat desamu, Gen?”
Mr. Rigen tertawa nyekakak.
“Heh, heh, heh, Bapak. Wong namanya itu diberi tiga orang lho, Pak. Satu dari orang tuanya, satu dari embahnya, lha, yang satu dari pak lurah waktu dia naik pangkat jadi kepala sekolah.”
“Weh, elok. Ya, sudah teruskan ceritamu.”
“Nah, begini. Waktu Pak Sastra itu mau dipindah suasana sekolah jadi rada gelisah. Semua gelo, sedih mau ditinggal Pak Sastra yang sangat dicintai murid-murid dan guru-guru.”
“Lha, hebatnya Pak Sastra itu bagaimana, Gen?”
“Lha, itu Pak. Pak Sastra itu senengnya menanam bunga-bungaan dan buah-buahan di pekarangan sekolah. Semua murid dan guru diajak. Seneng bikin sandiwara sekolah. Semua murid dan guru diajak main. Senang mengundang orang tua murid dan perangkat desa dolan ke sekolah. Diajak ngobrol sembari disuguh tela dan kacang godok. Ya cuma itu kehebatannya, Pak.”
“Cuma itu, Gen?”
“Ha, enggih. Cuma itu. Tapi waktu kami dengar pak kepala itu mau dipindah kok kami jadi angles hati kami. Tiba-tiba kita melihat sekolah sudah ijo royo-royo tetumbuhannya. Bunga-bungaan tumbuh asri. Tela rambat, kacang brol, pohon pisang, kangkung, ayam kampung, semua serba subur. Tiba-tiba kita juga jadi ingat gamelan besi sekolah kita, yang meskipun besi, tak pernah blero suaranya. Juga perkumpulan sandiwara, ketoprak, dan tarian kita. Eh, semuanya karena dorongan pak kepala. Wah, kalau ditinggal pak kepala itu terus bagaimana sekolah kita.”
“Terus, terus bagaimana Gen?”
“Guru-guru sowan ke Wonogiri mohon agar pak kepala tetap di Praci. Ditolak. Murid-murid sowan pak kepala di rumahnya. Mohon jangan mau dipindah, dinaikkan pangkatnya. Pak kepala cuma tersenyum menggelengkan kepala. Itu bukan wewenang pak kepala, katanya. Akhirnya kami semua jadi mupus. menyerah, menghibur diri. Kami memutuskan untuk bikin pesta perpisahan yang hebat.”
“Wah, gek kaya apa pesta kalian itu?”
“Murid-murid me-nembang panembrana yang bagus sekali. Anak-anak perempuan pakai kain dan kebaya. Gelungan rambut mereka muntil-muntil. Kainnya dipakai ketinggian seperti mau tandur di sawah. Kami anak lelaki pakai sarung, hem putih, dan peci. Yang nabuh gamelan juga murid dan guru.”
“Wah, elok tenan. Terus?”
“Terus kami juga setanden. Ini coro Londo, Pak. Artinya, jumpalitan main setongkling. Wah, saya ingat ada yang ketekuk lehernya. Terus kami main sandiwara. Saya masih ingat lakonnya Bocah Ontang-Anting. Ceritanya mesakake banget, Pak. Ngeres, ngenes. Semua, terutama ibu-ibu, pada mbrebes mili, nangis sedih. Dan waktu pak kepala pidato perpisahan, beliau juga membik-membik nangis itu, Pak.”
Mr. Rigen selesai dengan ceritanya. Air mukanya jelas masih membayangkan sekolah dan desanya dengan penuh nostalgia. Saya pun mencoba membayangkan ceritanya. Bahkan kemudian ikut hanyut. Waktu saya masih kecil ikut ayah inspeksi ke desa-desa, ya suasana begitulah yang tergelar.
“Prof. Koesnadi itu apa ya kira-kira seperti kepala kami dulu ya, Pak?”
“Hus! Enak saja membanding-bandingkan orang. Ya lain to! Beliau itu guru besar, doktor luar negeri, mantan diplomat,lho!”
“Lho bukan itunya, Pak. Tapi bekas tangan Prof. Koesnadi itu pada kampus mengingatkan saya sama pak kepala saya dulu. Tahu-tahu kampus ini mangkin ijo royo-royo. Tahu-tahu orang yang jualan mondar-mandir dikasih tempat. Tahu-tahu bocah-bocah mahasiswa boleh punya majalah lagi, boleh bikin rame-rame, boleh bikin pasar malem. Ada grengseng, ada suasana gitu lho, Pak.”
“Weh, hebat juga pengamatanmu, Geng. Kamu itu bisa begitu dari mana?”
“Lho jelek-jelek saya rak inggih melihat semua to, Pak. Wong tinggalnya ya di sini-sini. Sering dengar mahasiswa ngrasani Pak Rektor.”
Waktu Mr. Rigen sudah kembali ke belakang ke markasnya saya mempertimbangkan kembali dialog kami. Saya jadi dibuat kagum lagi oleh kepekaan pengamatannya. Pengamatan wong cilik terhadap wong gede ternyata banyak tepatnya. Pandangan mereka yang mesti mendongak ke atas dan begitu jauh kelihatannya, rupanya tidak selalu harus mengaburkan pandangan mereka. Padahal Pak Koes belum sempat singgah di rumah kami. Kesibukan kami masing-masing telah membuat hubungan kami sesungguhnya sudah terjalin puluhan tahun itu menjadi terbatas menjadi hubungan kolegial kedinasan saja. Meskipun juga tetap hangat. Toh Mr. Rigen mampu juga membuat takarannya yang pas terhadap beliau, sama dengan pada menakar Soedjatmoko. Ah, optimis juga saya melihat hari depan wong cilik. Bukan terutama akan kesempatan yang diberikan kepada mereka untuk lebih bisa hidup enak. Kalau itu wah…
Yang bikin saya optimis tentang mereka adalah kemampuannya menakar pemimpin itulah. Itu berarti wong cilik selalu tahu kualitas pemimpin mereka. Hah, hati-hati lho, Bapak Pemimpin. Kalau wong cilik sering diam, selalu kelihatan manut-miturut itu tidak usah berarti bahwa mereka tidak tahu kalau dikibuli. Mereka tahu. Cuma mereka tidak berdaya. Coba kasihlah kesempatan kepada mereka untuk berkoar lantang-lantang. Ah, bisa nggegirisi saestu…
Pak Koes sebentar lagi akan pergi. Mr. Rigen sudah memberi takarannya. Pak Koes berhasil memberikan suwasono gayeng kepada kampus Nggadjah Mada. Mungkin dia benar. Dalam zaman edan yang serba tidak menentu ini apalah yang lebih penting dari swasono? Mungkin ini modal yang penting untuk menciptakan perkembangan kampus. Baik yang akademis, yang intelektual, yang lainnya.
Pak Koes selamat jalan. Ciptakanlah selalu suwasono-suwasono di mana saja dan kapan saja…
30 Januari 1990
~oOo~
Anda kangen dengan tulisan-tulisan Pak Umar Kayam? Di tahun 2012 ini, Pustaka Utama Grafiti kembali mencetak ulang (Cetakan VII) buku Sketsa-Sketsa Umar Kayam Mangan Ora Mangan Kumpul. Sengaja saya memilih tulisan Mr. Rigen menakar Prof. Koesnadi (di empat halaman terakhir, yaitu hal 455-458), karena saya ingin bernostalgia. Pada Februari 1989, saya dan kawan-kawan sowan ke rumah Pak Koes untuk melakukan wawancara dan mohon restu karena kami akan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa (LKIM) Tingkat Nasional. Kami, sekelompok mahasiswa Fak. Geografi UGM melakukan penelitian terhadap kebijakan Pak Koes dalam menata pedagang kaki lima (PKL) yang biasa mangkal di kampus (seperti yang diamati oleh Mr. Rigen di atas). Dalam LKIM tersebut kami meraih juara I Tingkat Nasional untuk Kategori Humaniora.