Rest Area KM 57 menjadi tempat rendezvous kami. Hampir dua bulanan ini saya tak bertemu dengan sahabat saya, mas Suryat. Persahabatan kami jalin sejak lima belas tahun lalu.
Ia bilang kalau beberapa waktu lalu semua kontak di ponselnya raib gara-gara terserang virus yang dikirimkan melalui inbox di surelnya. Ia sendiri tak pernah mem-back up kontak tersebut dan belakangan ia mengikuti saran temannya supaya kontak di ponselnya juga disimpan di gmail.
Beberapa kali saya menghubungi ponselnya, tapi nggak diangkat. Baru setelah saya kirim pesan via WA ia membalasnya. Memang sudah menjadi kebiasaannya jika masuk nomor yang tidak dikenalnya ia tak akan mengangkat telepon yang masuk. Aku ndak apal nomermu, bro. Demikian ia membalas WA saya.
***
Warung kopi langganan kami siang menjelang sore sepi pembeli. Mas Suryat datang dengan wajah berseri tapi saya amati ia sedang menyembunyikan sebuah misteri.
“Ke mana saja, mas. Apa lagi sibuk proyek baru?”
Saya menjabat erat tangannya. Ia tersenyum, belum menjawab pertanyaan yang saya lontarkan. Kami mengambil duduk di sudut dekat jendela.
“Aku malu sama Gusti Allah, bro. Aku menjauhi-Nya, Dia malah makin mendekatiku!”
Saya tidak mudeng apa yang baru saja dikatakan mas Suryat. Tidak biasanya ia membikin pusing saya seperti itu.
“Janji Gusti Allah di kitab suci tak meleset. Dia tidak membebani masalah kepada manusia di luar kemampuannya. Pesen kopi apa, bro?”
Saya menyebut kopi kesukaan saya, apalagi kalau bukan Kopi Gayo, kopi paling sedap sedunia. Tetapi saya masih dibingungkan oleh perkataan mas Suryat.
“Makanya, kamu menggunduli kepalamu, mas?
“Yup! Satu masalah besar yang menghantuiku enam bulan ini kelar sudah. Model gundul ini untuk membuang sial.”
Tanpa saya minta, ia pun menceritakan beban masalah yang dihadapinya, hingga diselesaikannya tempo hari. Ia juga bercerita kalau ia merasa menjauhi Tuhan saat mendapat cobaan, alih-alih lebih rajin ke masjid misalnya.
“Tapi persoalan ini menyisakan luka di hati. Aku tak pernah menyangka, pengkhiatan seorang teman sungguh menyakitkan hati. Bagaimana pun aku harus memaafkannya agar tenang hatiku.”
Saya mengiyakan tuturan mas Suryat yang belum sepenuhnya saya pahami. Saya pun mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya kepadanya.
“Kapan mulai nulis lagi, mas? Saya kangen tulisan-tulisanmu.”