Mengantar Bharata Nyantrik

Rakyat Hastinapura senang sekali sebab raja mereka sudah mempunyai permaisuri bahkan sekaligus putra mahkota. Pesta kelar, raja dan permaisuri bermaksud menghadap Mpu Kanwa.

“Kyaine, Pengeran Bharata aku titipkan kepada sampeyan selama aku dan permaisuri pergi ke padepokan Mpu Kanwa. Sampeyan jangan tinggalkan istana ini hingga aku pulang dari padepokan.”

Saya mengiyakan permintaan Prabu Duswanta.

Sakuntala membisikkan sesuatu kepada Bharata dan tak lama kemudian ia berjalan ke arah saya. Ia menarik tangan saya mengisyaratkan supaya meninggalkan ayah dan ibunya. Saya menurut saja kepada pangeran Hastinapura ini.

Ia membawa saya ke kamarnya.

“Pakde, sebetulnya aku ndak betah tinggal di sini. Lebih enak tinggal bersama bersama Eyang Kanwa. Nanti kalau ayah dan ibu pulang, Pakde tolong bilang ke mereka ya?” Bharata merajuk.

“Pakde harus bilang apa?” tanya saya.

“Minta kepada ayah supaya aku diizinkan tinggal bersama Eyang Kanwa. Oke, Pakde?” ia memeluk saya.

***

Sementara itu, Prabu Duswanta dan Sakuntala telah sampai di padepokan Mpu Kanwa. Betapa bahagianya orang tua yang sudah sepuh itu ketika anak pungut dan menantunya itu menghaturkan sembah sungkem kepadanya. Keduanya minta restu kepada Mpu Kanwa.

“Aku terima sembah sungkem kalian. Jangan pernah berpisah, kalau ada persoalan coba dibicarakan baik-baik, jangan mengedepankan emosi. Kejayaan masa depan Hastinapura di tangan kalian berdua. Maka jika diizinkan aku minta supaya Bharata tinggal di sini saja. Aku akan mengajari segala ilmu untuk bekal baginya saat ia memegang tampuk pimpinan Hastinapura. Aku lihat dengan mata batinku, Bharata akan membawa moncernya Hastinapura. Bagaimana, Duswanta?”

“Saya mengikuti saja kehendak ayah. Rasanya memang demikian, Bharata belajar di padepokan ini.”

***

Ketika ayah dan ibunya sampai di istana kembali, Bharata diberitahu oleh mereka bahwa ia harus tinggal bersama Mpu Kanwa untuk nyantrik di sana. Bharata sangat senang dengan berita ini dan buru-buru memberitahukan kepada saya.

“Pakde, ayah dan ibu menyuruh aku tinggal bersama Eyang Kanwa. Yes!

Tanpa kami sadari, Prabu Duswanta dan Sakuntala telah berada di belakang saya. Prabu Duswanta tertawa menyaksikan ulah anak lelakinya.

“Kyaine, tolong antarkan Bharata ke rumah eyangnya ya? Bukankah sampeyan juga ingin meguru kepada beliau? Sekarang silakan kalian bersiap-siap berangkat ke padepokan!” titahnya.

***

Kami berdua saja pergi ke padepokan Mpu Kanwa. Dari balik kemudi Kyai Garuda Seta saya melirik ke arah Bharata yang duduk di samping saya, matanya memandang ke depan seolah menatap sebuah mimpi besar.

“Ada apa Pakde memandangku seperti itu?” tanya Bharata.

Saya terkejut dan sempat mengerem mendadak karena ada kambing yang sedang menyeberang jalan tanpa saya sadari keberadaannya.

“Pakde bangga padamu, Bharata!” jawab saya sekenanya.

“Bangga karena apa?”

Pertanyaan tersebut saya kunyah dan cerna. Bingung mau menjawab apa. Anak sekecil itu begitu berwibawa saat berkata-kata.

“Pakde bangga seperti para orang tua yang mengantar anak lelakinya berangkat ke sekolah. Anak adalah investasi masa depan. Bekal dan warisan paling indah adalah sebuah pendidikan.” jawab saya sekenanya.

“Memangnya Pakde ndak punya anak lelaki?” tanyanya kemudian.

“Tidak. Anak Pakde dua-duanya perempuan. Pakde juga sangat bangga dengan mereka,” tukas saya.

“Oh iya, waktu ayah kemarin menolak kami, Pakde mengeluarkan sebuah benda dari ransel milik Pakde. Hanya karena ayah melihat gambar akhirnya ayah mengakui keberadaan kami. Benda apa, Pakde?” Bharata menyelidik.

“Namanya komputer jinjing. Nanti ketika sampai di padepokan Pakde ajari cara memakainya,” jawab saya.

Bharata mengepalkan tangannya, lalu menariknya ke bawah sambil berteriak pelan, “Yes!”

***

Luas padepokan Mpu Kanwa berkisar belasan hektar, berada di ketinggian pegunungan, terdiri dari bangunan utama yang merupakan tempat tinggal Mpu Kanwa, di sekelilingnya dibangun barak-barak tempat tinggal para cantrik yang belajar di sana.

Barak yang saya tempati tak jauh dari bangunan utama. Meskipun Bharata merupakan putra mahkota, ia tak mendapatkan fasilitas khusus. Ia tetap menempati ruang yang dulu pernah ia tinggali bersama ibunya. Sebuah ruang yang sederhana.

Kegiatan para cantrik sehari-harinya sangat padat. Bangun tidur mereka berlatih ilmu kanuragan, kemudian mandi dan sarapan. Setelah itu belajar aneka ilmu pengetahuan. Sore hari kembali mereka berlatih menguatkan fisik mereka.

Pada malam kedua saya berada di Padepokan Mpu Kanwa, Bharata masuk kamar saya.

“Pakde, kini saatnya mengajariku menggunakan komputer jinjing,” katanya menagih janji.

Saya tersenyum. Segera saya beranjak ke sudut kamar mengambil ransel. Saya membuka ransel lebar-lebar untuk memudahkan mengeluarkan laptop.

Kok ndak ada? Siapa yang mencurinya?

“Kenapa Pakde?” tanya Bharata penasaran.

“Komputer jinjingnya hilang!” jawab saya panik.

Note:
Jika Anda penasaran dengan kelanjutan kisah di atas, silakan membaca buku ketu7uh saya yang insya Allah akan terbit bulan depan, judulnya Sakuntala Melihat Masa Depan.