Maafkan saya, Kapten!

Tanpa terasa, 40 hari sudah saya berada di Tanah Haram. Kebersamaan dengan teman-teman satu kelompok bimbingan haji Al-Holiliyah (140-an orang) akan segera berakhir, karena kalau sudah kembali ke tanah air masing-masing sibuk dengan urusannya.

Pagi itu, kami berkumpul untuk mengadakan acara perpisahan. Diawali dengan ungkapan syukur atas selesainya rangkaian ibadah haji di Mekkah dan shalat arbain di Madinah. Anggota rombongan dalam keadaan sehat dan prima saat itu. Evaluasi pun dilakukan di internal kelompok kami, agar teman-teman atau saudara kami yang tahun depan bergabung dengan kelompok bimbingan haji ini mendapatkan pelayanan yang bagus seperti kepada kami, bahkan lebih bagus lagi.

Pak Haji Mubarok menutup acara dengan doa kemudian dilanjutkan saling bermaafan. Di momen inilah, keharuan timbul. Ucapan maaf dalam dalam pelukan seorang teman selama 40 hari itu diiringi dengan linangan air mata. Rasanya baru kemarin kami saling kenal, tapi terasa sudah tahunan kami bergaul. Pergaulan sehari-hari diwarnai suasana keakraban: tolong menolong dan saling mengingatkan. Kami menjadi saudara, satu dengan yang lain.

Saya sempat tersenyum ketika Ed, memeluk saya erat sambil terbata dia bilang,  “Maafkan kesalahan saya Kapten”. Ed, anak muda usia belum sampai ke angka 30, alhamdulillah sudah bisa ke Tanah Haram. Kemudian ada si Her, pengacara muda yang hebat, dalam pelukan saya dia berkata, “Maafkan saya (koma)Ndan, sampai bertemu lagi di lain waktu”. Saya juga tersenyum mendengar ucapan maafnya. Tentu saja saya juga minta maaf kepada mereka.

Sebutan “kapten” dan “Ndan” inilah yang membuat saya tersenyum. Ada ceritanya, kenapa muncul sebutan kapten dan komandan untuk saya.

Ed, sejak pertama saya lihat di acara-acara manasik di tanah air termasuk orang yang pendiam tapi senyumnya cukup menawan. Saya belum pernah berkomunikasi dengannya. Sementara dengan Her, beberapa kali saya terlibat diskusi, dia ini seorang pengacara sebuah perusahaan, di tanah air dulu kami sempat bertukar kartu nama.

Ketika di Mina, karena waktu luang cukup banyak sosialisasi sering kami lakukan termasuk saling bercerita mengenai aktifitas pekerjaan di tanah air, termasuk saat itu saya ngobrol dengan si Her ini. Rupanya, sedari awal Ed menyimak pembicaraan kami. Begitu ada jeda, dia menyeletuk, “Saya kira Bapak seorang tentara loh!” katanya kepada saya. Bukan saya yang menanggapi celetukan si Ed, tapi si Her menjelaskan panjang lebar mengenai pekerjaan saya. “Kenapa bisa mengira begitu, Ed?” tanya saya, menyambung si Her. Ed menjelaskan bahwa sejak pertama melihat saya di acara-acara manasik dia mengira saya tentara hanya karena rambut cepak dan badan tegap saya. Apa Ed nggak memerhatikan perut buncit saya ya.. ha..ha… Kemudian saya pun bertanya kepadanya, “Waktu mengira saya ini tentara, bayangan kamu pangkat saya apa?” Dengan senyumnya yang khas dia menjawab,”Paling nggak Kapten lah”.

Sejak saat itulah kalau Ed atawa Her ketemu saya, tak jarang mereka memanggil dengan sebutan Kapten atawa Ndan.

Siaapppppp……!