Kyaine

Sejauh ini saya masih belum menemukan literatur mengenai kapan dimulainya penggunaan istilah Kyai. Dalam budaya Jawa sebutan Kyai pada zaman dahulu tidak hanya menyangkut orang, terutama sebagai sebutan untuk orang-orang yang ditakuti, disegani atau yang memiliki kemampuan ghaib yang tinggi yang tidak  dimiliki oleh orang pada umumnya, tetapi juga untuk mengawali sebutan benda yang dianggap bertuah atau mempunyai kekuatan ghaib.

Gus Mus (2006) mengungkapkan, istilah “kyai” telah digunakan salah kaprah karena sebenarnya kyai adalah sebuah istilah khas budaya Jawa yang mempunyai makna orang terhormat di tengah masyarakat yang selalu melihat umat dengan mata kasih sayang. Ia menjelaskan, dalam budaya Jawa sebutan kyai pada zaman dahulu tidak hanya menyangkut orang, tetapi juga benda yang dianggap terhormat seperti Kyai Nogososro, sebutan untuk sebuah keris, Kyai Plered sebutan sebuah tombak, dan Kyai Slamet, seekor kerbau yang dikeramatkan. “Jadi sebutan itu memang khas dalam budaya Jawa,” katanya.

~oÔo~

Zaman Kerajaan Majapahit dulu ada keris pusaka yang sangat terkenal yang bernama Kyai Sangkelat. Konon ketika Kerajaan  Majapahit mulai surut, hiduplah seorang  Mpu keris yang sakti mandraguna  bernama Jaka Supa. Ia seorang  pemuda yang sederhana, namun sangat menyukai bertapa dan kelak atas perjuangan tapa bratanya itu, ia menurunkan pusaka-pusaka yang hebat dan juga menurunkan para Mpu  pembuat keris yang handal  di tanah Jawa.

Pada masa Kerajaan Demak, tombak Kyai Plered, pernah membuat legenda. Syahdan, dalam suatu pertempuran di tepian sungai, Sutawijaya yang kelak akan menjadi Panembahan Senopati – Raja Mataram Pertama, menusuk perut Arya Penangsang menggunakan tombak Kyai Plered. Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober. Maka, ketika Arya Penangsang mencabut keris pusakanya itu akibatnya usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Arya Penangsang pun menemui ajalnya.

Di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, pada saat perayaan Sekaten (Perayaan Maulid Nabi) selalu dibunyikan dua gamelan keramat. Di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai gamelan Sekaten yang bernama Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu, sedangkan di Keraton Yogyakarta  gamelan Sekaten bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo. Gamelan-gamelan tersebut diletakkan di Pagongan Dalem Masjid Gedhe Kauman untuk dibunyikan.

Kalau Anda pernah berkunjung ke museum kereta Keraton Yogyakarta, akan menemui nama-nama kereta dengan sebutan Kyai atau Nyai, seperti Nyai Jimat, Kyai Garudayaksa, Kyai Jaladara, Kyai Ratapralaya, Kyai Jetayu, Kyai Wimanaputra, Kyai Jongwiyat, Kyai Harsunaba, Kyai Manik Retno, Kyai Kuthakaharjo, Kyai Kapolitin, Kyai Kus Gading, Kyai Puspoko Manik atau Kyai Mondrojuwolo. Kereta Nyai Jimat dan Kyai Garudayaksa dianggap sebagai pusaka yang paling keramat sehingga air bekas siraman kedua kereta tersebut dipercaya dapat memberikan kekuatan tertentu.

Masih di Keraton Yogyakarta. Pusaka berupa keris yang menduduki tempat terpenting adalah Kangjeng Kyai Ageng Kopek. Keris ini hanya boleh dikenakan oleh Sultan sendiri, lambang perannya sebagai pemimpin rohani dan duniawi. Konon, keris ini dibuat pada masa Kerajaan Demak dan pernah dimiliki oleh Sunan Kalijaga.

Di Keraton Surakarta, selain pusaka-pusaka keramat, ada seekor kerbau bule yang bernama Kyai Slamet. Menurut kepercayaan sebagian khalayak, “beliau” yang berkulit bule ini keramat juga. Bahkan pada saat mengitari keraton di malam satu Suro, “pup” beliau jadi rebutan orang-orang yang sengaja ngalap berkah.

Kata kyai juga digunakan sebagai nama samaran untuk harimau, jika seseorang akan melewati hutan. Ketika melewati hutan kita pamali menyebut langsung nama harimau/macan, karena harimau dianggap sebagai binatang yang berkuasa di hutan dan sangat ditakuti.

“Mohon ijin Kyaine, saya numpang lewat” demikian kalimat sandi kalau mau masuk atau melewati hutan.