Seminggu sebelum pecahnya perang Bharatayuda.
Kedua belah pihak – Pandawa dan Kurawa, masing-masing menyusun strategi untuk memenangkan peperangan. Di satu sisi, peran para tetua Wangsa Bharata telah gagal untuk mencegah terjadinya perang saudara tersebut. Takdir itu sepertinya harus terlaksana. Entah siapa nanti yang memenangkan peperangan yang akan dilakukan di Padang Kurusetra.
Syahdan, di kubu Pandawa sedang dilakukan rapat konsolidasi yang dihadiri oleh petinggi dan tokoh penting yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Pandawa yaitu Kresna. Kakak sepupu para Pandawa itu, selain sakti mandraguna ia juga punya kelebihan ngerti sakdurunge winarah, mengetahui sesuatu yang akan terjadi.
“Pandawa akan kalah dalam perang Bharatayuda nanti,” ucap Kresna yang membuat peserta rapat terkejut bukan main.
“Mengapa bisa begitu mas? Apakah persenjataan kita kalah banyak? Bukankah kesaktian kami jauh di atas orang-orang Kurawa?” tanya Bima. Suaranya menggelegar. Ada kemarahan di sana. Ia tidak terima dengan prediksi Kresna yang mengatakan Pandawa akan kalah perang.
Reputasi Kresna yang tak pernah cacat membuat mayoritas peserta rapat memercayai kata-kata Kresna. Rapat konsolidasi itu berubah agendanya menjadi penyusunan strategi memenangkan peperangan.
“Faktor yang memenangkan Kurawa karena adanya Karna di sana!” tukas Kresna.
“Ha…!! Karna si anak haram itu? Hmm.. aku ingin melumatkan tubuhnya. Selama ini aku belum sempat bertanding dengannya!” kata Bima dengan emosi.
“Ssstt… kamu tidak boleh berkata begitu Bim. Bagaimana pun Karna itu kakak kalian, para Pandawa. Ia anak kandung ibu kalian, Kunti. Ia juga adik sepupuku. Kalian ingat tidak peristiwa-peristiwa yang lalu. Pernahkah Arjuna mengalahkan Karna? Tidak pernah bukan? Padahal Arjuna itu paling sakti di antara kalian, tetapi ia tidak bisa mengalahkan kesaktian Karna,” papar Kresna.
“Tapi mas… waktu tanding-panah untuk memperebutkan Drupadi1, Karna kalah oleh Arjuna bukan?” tanya Nakula.
“Tidak. Kalian semua salah. Seharusnya waktu itu Karna yang menang. Ia berhasil mengangkat busur. Ketika ia siap melontarkan anak panah ke arah cakra yang berputar, aku membelokkan arah anak panahnya sedikit. Ya, takdirnya Karna tidak untuk berjodoh dengan Drupadi,” kata Kresna memberikan penjelasan.
Arjuna yang mendengar kata-kata Kresna tertunduk malu. Dari awal Arjuna sudah tahu kalau saat itu ia memang telah dimenangkan oleh suatu kecurangan yang dilakukan oleh Kresna.
“Jadi, strategi kita bagaimana mas?” tanya Yudhistira yang sejak tadi diam saja.
“Aku punya usul… tepatnya permintaan kepada Kresna,” sela Kunti, ibu para Pandawa.
“Permintaan apa tante?” kata Kresna.
“Bujuklah Karna untuk bergabung dengan Pandawa, saudara sekandungnya. Ia lebih pantas hidup bersama Pandawa daripada Kurawa. Wangsa Pandawa yang terhormat tidak boleh punah karena perang besar beberapa hari mendatang,” kata Kunti.
Rapat malam itu menyepakati usulan Kunti dan menetapkan Kresna sebagai duta Pandawa untuk meminta kepada Adipati Karna Raja Awangga bergabung dengan keluarga besar Pandawa.
~oOo~
Di pendapa Kerajaan Awangga, Kresna diterima dengan tangan terbuka oleh Karna. Kresna menatap lekat pada Karna, yang juga adik sepupunya itu dengan pandangan mata batinnya.
“Begitulah maksud kedatanganku, Suryatmojo,” kata Kresna mengakhiri kalimatnya setelah memaparkan maksud tujuan bertemu dengan Karna, yang punya nama lain Suryatmojo itu.
“Aku menghargai keinginan ibu Kunti, mas. Juga kedatangan mas Kresna ke sini. Terima kasih, atas perhatian dan kasih sayang keluarga Pandawa. Tapi semua itu sudah terlambat. Bahkan sangat terlambat,” kata Karna sambil menghela nafas.
“Terlambat bagaimana, Basukarno? Bukankah perang belum dimulai? Bisa kamu jelaskan padaku?” pinta Kresna kepada Basukarno yang tak lain sebutan untuk Adipati Karna.
“Sejarah kehidupanku tak mungkin terulang mas. Sejak bayi aku sudah dibuang ibu, lalu ditemukan dan dipelihara oleh seorang kusir kereta. Aku – Basusena ya Suryatmojo, anak Bathara Surya dengan ibu Kunti ningrat Wangsa Bharata harus hidup menjadi rakyat jelata. Betapa hina dan menyengsarakan hidup sebagai jelata. Aku masih ingat bagaimana aku ditolak oleh Mahaguru Dorna dan Mahaguru Kripa jadi muridnya. Semua itu hanya gara-gara aku dinilai sebagai rakyat jelata, bukan keturunan ningrat. Hmm.. memang repot kalau seorang Mahaguru terjun ke dunia politik. Akal dan nuraninya tidak obyektif lagi tetapi menilai seseorang berdasarkan kastanya,” kalimat Karna terputus. Ia mempersilakan Kresna menikmati minuman bandrek yang disajikan oleh Surtikanthi, istrinya.
Kresna pun menyeruput bandrek hangat itu lalu kembali mendengarkan kalimat yang terlontar dari mulut Karna. Apa yang akan diceritakan oleh Karna, Kresna sudah menduga ke mana arahnya.
“Lalu, datanglah Duryodana. Ia tidak memandang statusku waktu itu yang menjadi anak seorang kusir kereta. Karena ia mengetahui kepandaian dan kepintaranku, ia meminta para Mahaguru menerimaku sebagai murid dan ikut olimpiade memanah antar siswa. Lagi-lagi, para Mahaguru menolakku hanya gara-gara aku tak pantas melawan Arjuna si juara bertahan olimpiade yang keturunan ningrat, sementara aku dari kalangan jelata. Duryodana sebagai putra mahkota meminta ayahnya mengangkatku menjadi seorang ningrat dan memberiku sebuah kerajaan. Sejak saat itu jadilah aku sebagai Raja Awangga. Aku tidak bisa melupakan budi Duryodana itu, mas.” Karna menerawang. Kresna masih diam.
“Hari-hari berikutnya, kebaikan Duryodana kepadaku tak pernah berhenti. Ia menjadi sahabat sejati. Kami bahu-membahu membesarkan Kerajaan Hastina, meskipun aku akui di Hastina banyak koruptor di semua lini kehidupan, mafia pajak, mafia hukum, dan mafia-mafia yang lain. Tapi, aku tak bisa memungkiri kalau Duryodana memberikan banyak budi kepadaku,” kata Karna lagi.
Surtikanti keluar membawa pisang goreng buatannya, dan menaruhnya di meja lalu mempersilakan Kresna mencicipinya. Surtikanthi kembali ke belakang, tak elok baginya ikut dalam pembicaraan Kresna dan Karna.
“Mas, salah satu kebaikan budi Duryodana itu Surtikanthi, istri yang sangat aku cintai,” kata Karna.
“O, bagaimana ceritanya?” tanya Kresna.
“Konon, ayah Duryodana dan ayah Surtikanthi pernah bersepakat untuk menjodohkan mereka dalam ikatan perkawinan. Sementara, Duryodana sudah punya pacar yaitu Banowati. Tetapi namanya orang tua yang sudah kadung saling berjanji, perjodohan itu harus dilaksanakan. Nah, sebelum semua itu terjadi masuklah aku ke Wangsa Kurawa dengan diangkatnya aku menjadi Raja Awangga,” Karna mengambil sepotong pisang goreng setelah mempersilakan Kresna, lalu melanjutkan kalimatnya.
“Nah, di saat ada acara rapat koordinasi di Hastina bertemulah aku dengan Surtikanthi. Aku jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Hari-hari selanjutnya aku mencuri kesempatan untuk berkenalan dengannya. Rupanya ia juga menyambut perhatianku padanya. Beberapa kali bertemu kemudian aku mendengar kalau ia telah dijodohkan dengan Duryodana.”
“Wow, kamu patah hati dong?” sela Kresna.
“Tidak mas. Aku meyakinkan diri kalau Surtikanthi juga mencintaiku. Aku juga melakukan investigasi bagaimana perasaan Duryodana kepada Surtikanthi,” jawab Karna.
“Lalu, apa yang kamu lakukan?” tanya Kresna.
“Aku menemui Duryodana dan berterus terang meminta Surtikanthi supaya menjadi istriku. Di luar perkiraanku, Duryodana malah tertawa senang. Ia mengatakan kalau aku telah menyelesaikan persoalan perjodohan yang diatur orang tuanya. Surtikanthi menjadi milikku. Bahkan pesta perkawinanku dibuat sangat meriah atas tanggungan biaya Duryodana. Itulah beberapa kebaikan budi Duryodana, sehingga aku menolak bergabung dengan Pandawa,” Karna mengakhiri penjelasannya.
“Tapi kamu tahu kan, kalau Kurawa itu sebagian bertabiat buruk? Kamu tidak menyesal, nanti?” cecar Krena.
“Aku sadar mas. Aku orang yang tahu balas budi. Kalau Kurawa bertabiat buruk, apa aku harus ikut terpengaruh tabiat buruk mereka? Dalam perang besar nanti aku membela kehormatan Hastina yang telah melindungiku selama ini,” Karna mencoba menyeimbangkan perasaannya.
“Tapi ibumu di pihak Pandawa, loh. Tidakkah itu sebagai bahan pertimbanganmu?” Kresna masih mencecar untuk menggoyahkan pendirian Karna.
“Ibuku tetap ibuku mas. Sekali lagi, ini membela kehormatan sebuah negeri!” tegas Karna.
“Karna, adikku. Kalau kamu masih di Kurawa, Pandawa akan kalah. Mereka akan musnah. Coba kamu pertimbangkan lagi untuk bisa bergabung di pihak Pandawa!” rayu Kresna.
“Mas Kresna, aku tidak mungkin lagi mengalahkan Pandawa. Nih, aku lepas kedua pusaka andalanku, dan bawalah ke ibu Kunti supaya bisa dikembalikan kepada Bathara Surya. Biarkan Pandawa menang. Tetapi aku tetap membela Kurawa, untuk sebuah kehormatan yang aku miliki. Mohon maaf mas, tolong sampaikan keputusanku kepada saudara-saudaraku Pandawa, dan sembah sungkemku untuk ibu Kunti.”
Basusena menyerahkan pusaka berupa anting-anting yang bernama Pucunggul Maniking Surya dan rompi baja Kawaca2. Kresna berdiri menerima kedua pusaka itu. Mereka berpelukan. Kresna menepuk punggung adik sepupunya itu lalu pamit kembali ke Pandawa untuk melaporkan tugasnya sebagai duta.
Dari kejauhan Surtikanthi bangga menyaksikan keteguhan dan kebesaran hati suaminya.
___________
1. Kisah ini dipentaskan di Take Him Out atawa Drupati mencari jodoh
2. Nama pusaka ini pernah disinggung di lakon Adipati Karna juga mudik.