Senja hampir menabrak malam. Pintu bilik Retna Manggali masih tertutup rapat. Dari luar bilik terdengar sedu-sedan tangis perawan Desa Jirah yang mengurung diri sejak ia pulang mencuci pakaiannya di sungai pinggir desa. Beberapa kali ibunya mengetuk pintu, alih-alih mendapatkan jawaban dari anaknya, Retna Manggali semakin keras tangisnya. Perempuan setengah tua yang wajahnya masih menyisakan banyak kecantikan itu menghela nafas. Ada apa dengan anak perempuanku?
Ia pergi ke dapur untuk memanasi sup ayam kesukaan Retna Manggali. Perempuan setengah tua itu tak lain adalah Calon Arang, di mana beberapa kalangan memberikan julukan padanya sebagai Janda dari Jirah, dengan bernada sinis. Entah apa maksud orang-orang memanggilnya demikian, apa salahnya ia menjadi seorang janda? Toh, bukan keinginannya kalau ia ditinggal mati oleh suaminya.
Dengan lembut kembali ia memanggil anak gadisnya. Retna Manggali luluh hati, keluar bilik dengan mata sembab. Begitu melihat ibunya, ia memeluk erat dengan masih tersedu.
“Ibu, orang-orang desa mencemoohku dengan sebutan perawan tua, perawan yang tak laku-laku. Tak ada orang yang mau melamarku karena aku anaknya Calon Arang!” Retna Manggali menumpahkan isi hatinya.
“Diamlah, Nduk. Ibu akan membalaskan luka hatimu. Sekarang kita makan malam dulu. Ibu sudah menyiapkan sup ayam kesukaanmu,” hibur Calon Arang.
Retna Manggali tak tahu, betapa bergolaknya hati Calon Arang menerima penghinaan semacam itu. Aku tak peduli orang-orang menjuluki diriku dengan Janda dari Jirah. Tapi kalau mereka sudah mencemooh anakku sebagai perawan tua, perawan yang tak laku-laku, aku tidak akan tinggal diam.
Selesai makan malam, Calon Arang bersemedi di sanggar pamujannya.
Syahdan, malam itu udara Negeri Kahuripan terasa berbeda. Kabut menyelimuti pandangan mata. Nun di atas langit terlihat lintang kemukus berpendar. Bagi orang waskita, semua itu pertanda bakal terjadi bencana di Negeri Kahuripan.
Suasana mencekam sangat terasa di Desa Jirah. Penduduk desa gelisah luar biasa. Gonggongan anjing hutan, kicauan burung bence dan kepakan kelelawar menambah tintrim suasana.
Calon Arang berada dalam puncak marah.
Bunyi kentongan titir bertalu-talu, sebagai tanda untuk mengabarkan ke khalayak kalau ada pralaya. Tak hanya satu orang yang mati, tapi saling menyusul. Belum selesai mengurusi satu mayat, di rumah yang lain terdengar tangis memilukan meratapi sanak-kadang yang mati mendadak.
Pageblug itu tak hanya terjadi di Desa Jirah, bahkan merembet ke desa dan perkampungan yang lain.
Calon Arang melampiaskan kemarahannya dengan menyebar tulah.