Mari menengok sejenak dapur ibu. Masihkah belum berubah, masih sama dengan keadaan puluhan tahun lalu? Apakah di sana masih tergantung panci atawa wajan penyok yang pantatnya berwarna hitam sebab saban waktu kena panas api berbahan bakar minyak tanah? Apakah bala pecah seperti piring, gelas, mug, atawa mangkuk yang masih itu-itu juga: kita memakainya bersama keluarga besar? Peralatan masaknya, awet sekali bukan?
Jejak jelaga di atas tungku menandakan kalau dapur ibu selalu ngebul.
Dapur ibuĀ ibarat rahim. Di tempat ini ibu kita melahirkan karya terbaiknya: masakan lezat! Dari makanan tersebut, ayah menjadi lelaki kuat. Tenaganya makin berlipat-lipat dalam menjemput rejeki yang tersebar di muka bumi, kemudianĀ ia menghidupi dan melindungi keluarga. Dari makanan tersebut, anak-anak ibu tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Di dapur ibu kita tak segan mengudap lauk yang masih panas yang baru saja diangkat dari penggorengan. Lalu ibu meminta kita untuk segera mengambil nasi, lengkap dengan sayur dan lauknya, sebab sudah waktunya makan. Nah, di dapur ibu masakan ibu semakin tambah leker saja. Ibu sangat tahu makanan kesukaan anggota keluarga.
Ibu memasak dengan hati. Setiap bumbu yang dimasukkan ke dalam masakan disertai dengan doa. Sesederhana apapun masakan ibu, terasa nikmat.
Dapur menjadi tempat bercengkerama paling nyaman. Di tempat ini ibu memberi aneka nasihat dan wejangan untuk anak-anaknya. Di tempat ini pula anak-anak bebas mencurahkan hati yang sedang galau dan gelisah kepada ibu. Atawa menceritakan kegembiraan yang terjadi di hari itu. Dengan sabar ibu akan mendengarkan ocehan yang keluar dari mulut kita.
Dapur ibu tempat kembali. Dapur akan menjadi tujuan pertama ketika mencari ibu.