Karebet

Prolog
Dalam perjalanan ke Demak Bintoro, Karebet atau Jaka Tingkir itu naik rakit bambu, mengikuti aliran air Bengawan Solo. Di tikungan sungai yang bernama Kedung Srengenge, rakit Karebet diserang oleh sekelompok buaya yang berjumlah 40 ekor.

Raja buaya memerintahkan kepada anak buahnya untuk menghancurkan rakit dan membunuh Karebet. Misi utama mereka adalah menggagalkan Karebet sampai ke Kerajaan Demak Bintoro. Dasar Karebet mempunyai ilmu kanuragan tinggi dan kesaktian yang tidak bisa diremehkan, puluhan buaya ia taklukkan. Raja buaya semakin ganas menyerang Karebet. Tetapi, sang buaya mengakui kehebatan Karebet, dan menyatakan takluk. Sebagai kompensasinya, rombongan buaya itu menghantarkan Karebet sampai ke Demak Bintoro.

~*0*~

Di sebuah hutan Terlarang, tersebutlah persahabatan yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara kerbau dan cicak. Tidak ada yang tahu pasti apa yang menyebabkan mereka begitu akrab, dan membantu satu dengan yang lainnya. Tetapi bisik-bisik yang terdengar, si kerbau ini pernah membantu si cicak yang sedang bertarung melawan buaya. Memang tidak imbang, tetapi di hutan Terlarang peristiwa apa pun bisa terjadi. Kalau tidak salah, awal perseturuan buaya dan cicak ini gara-gara berebut makanan. Suatu permasalahan yang sangat sederhana. Pada saat posisi cicak sedang tidak menguntungkan datanglah si kerbau membantunya.

Pada suatu hari, di ujung jalan setapak terdengar rintihan pilu si buaya yang sedang menderita karena tertimpa pohon yang cukup besar. Teriakan minta tolongnya tidak didengar siapa pun. Nasib baik si buaya rupanya sedang datang di hari itu. Di kejauhan ia melihat kerbau dan cicak berjalan ke arahnya.

“Selamat siang pak buaya. Sedang sibuk apa nih, kok sepertinya nyaman benar tiduran di bawah batang pohon?” sapa hangat si kerbau.

“Sibuk gundulmu itu. Aku sedang menderita tahu?! Lihatlah, tubuhku tertimpa pohon besar ini. Aduh… aku sudah tidak tahan lagi… Tolong dong angkat batang pohon ini, agar aku bisa keluar dari penderitaan ini!” kata buaya memelas.

“Tidak. Aku tidak mau menolongmu. Nanti kalau kamu aku lepaskan, pasti kamu akan memusuhi si cicak lagi,” jawab kerbau sambil menganalisa keadaan.

“Kamu jangan berprasangka buruk dong Bo. Aku janji, kalau kamu menolongku aku tidak akan mengusik si cicak bahkan kamu nanti akan aku kasih rumput yang segar,” bujuk si buaya.

Dan kerbau pun membantu mengangkat pohon itu, sehingga buaya bisa keluar dari tindihan batang pohon. Secepat kilat buaya mengibaskan ekornya, batang pohon tersebut gantian yang menindih badan si kerbau. Menyaksikan peristiwa itu cicak kaget luar biasa. Kerbau melolong kesakitan.

Mata buaya nanar, ingin rasanya menerkam si cicak saat itu juga. Dalam fikirannya, setelah mengunyah daging cicak, ia akan menyantap sedapnya daging kerbau.

Dalam himpitan batang pohon yang makin berat, kerbau masih sempat bicara kepada cicak, “Cepat.. lari kamu cari bantuan… datangi Jaka Tingkir. Buaya takutnya hanya kepada dia saja!”

Jantung cicak berdebar keras ketika mulut buaya siap menerkamnya. Ajal cicak sudah di depan mata. Buaya mengatupkan mulutnya. Cicak berteriak kesakitan karena ekornya putus terkena taring buaya.

“Bo… bagaimana aku bisa menghubungi Jaka Tingkir… di mana ia berada?!” cicak berteriak sambil berlari menjauhi buaya yang sedang mengamuk.

“Kamu ke tempat pertapaan Kyaine saja, ia tahu di mana Jaka Tingkir berada!!” jawab kerbau tak kalah nyaringnya.