Dalam lawatan saya ke Bangkok beberapa waktu lalu, sengaja saya mendatangi Siam Discovery Bangkok. Segera saya menuju lantai 6, di sana banyak tokoh dunia lintas generasi sedang berkumpul. Tujuan utama saya bertemu dengan Sukarno. Konon, ia tokoh paling akhir yang tiba di tempat itu.
Benar saja. Saya menemui banyak sekali tokoh dunia: Putin, Jackie Chen, Aung San Suu Kyi, Obama dan istrinya, dan masih banyak lagi. Tapi di mana Sukarno? Saya menyibak kerumunan orang-orang yang ingin menemui tokoh yang mereka kagumi, untuk menuju ruang sebelah. Dan benar saja, saya dapat melihat Sukarno sedang ngobrol dengan Mahatma Gandhi dan Mahathir Mohamad.
“Maaf, bolehkah saya berbicara sebentar dengan Bung?”
Sukarno menatap saya lalu tertawa hingga gingsulnya kelihatan. Kami berpelukan.
“Bagaimana Indonesia, sekarang?”
“Tujuh puluh tahun usianya, Bung!”
“Sudah banyak kemajuan ya?”
“Secara fisik iya. Secara mental, sepertinya mengalami kemerosotan yang luar bisa dibanding ketika Bung memimpin Indonesia?”
“Loh, bukannya presiden yang sekarang punya program andalah Revolusi Mental?”
“Ah, rupanya Bung mengikuti juga berita di Tanah Air Beta. Bangsa Indonesia rasanya ndak tangguh lagi, Bung.”
Sosok Sukarno yang berada di hadapan saya menerawang jauh, lalu mengajak saya menuju ruang lain. O, saya diajak ke ruang di mana Beethoven sedang memainkan pianonya. Musik mengalun menenteramkan jiwa.
“Ndak tangguh lagi, bagaimana maksudnya?”
“Banyak yang tidak tahan menderita.”
“Aku kasih tahu, ya. Menderita adalah memperkuat diri. Aku tidak menghendaki hal ini pada rakyatku, akan tetapi sebaliknya kalau semua diperoleh dengan mudah mereka pikir Bung Karno adalah sinterklas. Rakyat akan duduk enak-enak menunggu Sukarno mengerjakan semua untuk mereka. Kalau sekiranyalah aku mempunyai kemampuan untuk memberi kesenangan saja, mungkin aku mempunyai kemampuan untuk memberi kesenangan saja, mungkin aku tidak menjadi bapak yang baik. Aku harus memberi makanan jiwa rakyatku, tidak saja memberi makan perutnya. Kalau aku menggunakan semua uang untuk membeli beras, mungkin aku dapat memerangi kelaparan mereka. Tapi tidak. Apabila aku memperoleh uang $5, aku harus mengeluarkan $2.5 untuk tulang punggungnya. Dan mendidik bangsa aadalah sangat kompleks.”
Saya mencoba mengunyah tuturan Sukarno dan menelannya.
“Apa yang bisa Bung nasihatkan untuk bangsa Indonesia di hari ulang tahun Republik Indonesia ketujuh puluh ini?”
Sukarno menghela nafas, lalu berujar.
“ Indonesia harus membangkitkan kepercayaan kepada dirinya sendiri dan mengikis habis perasaan rendah diri.”
“Sebelum kita berpisah, bolehkah kita berfoto berdua?”
Juru foto sudah memberikan aba-aba. Bung dan saya sudah menghadap kamera dengan melumuri wajah dengan senyum termanis. E, tiba-tiba mBak Angelina Jolie melintas di depan kami, dan sudah bisa diduga si Bung tergoda oleh kemolekan mBak Jolie. Mata si Bung tidak lagi fokus ke arah kamera.
Juru foto terlanjur menjepretkan DLSR-nya, sementara Bung buru-buru mengejar mBak Jolie.
Note: Kalimat yang terucap dari Sukarno saya kutip dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia hal 443-444.