Tiba-tiba muncul Panglima Sutakasi dan pasukan pemberontak meringsek masuk ke alun-alun dengan sengaja lengkap. Semua orang terkejut dan terkecuali raja sendiri.
“Berikan pedangmu, wahai Raka Paranggelung sebagai tanda taklukmu kepadaku!” teriak Sutakasi.
Raja Paranggelung beranjak dari kursinya. Pedang tergenggam di tangan di kanannya. Ia berjalan pelan ke arah Sutakasi dengan cara menunduk. Sebuah sikap penyerahan diri.
Panglima Sutakasi mongkog hatinya, sebab sebentar lagi ia menerima tanda takluk Raja Paranggelung. Namun, Sutakasi salah duga.
Raja Paranggelung tiba-tiba menegakkan badannya. Pedang ia angkat tinggi-tinggi, lalu berteriak.
“Pantang bagi Paranggelung menyerahkan kerajaan kepada pengkhianat sepertimu, Sutakasi. Wahai, segenap panglima dan prajuritku ayo kita gulung pasukan pengkhianat tak tahu diri ini!”
Sutakasi sejenak terkesima. Hampir saja pedang Raja Paranggelung mengenai lehernya. Untung saja ia cepat menghindar dan segera memasang kuda-kuda. Teriakan raja didengar disambut gerak cepat para panglima Paranggelung untuk menyiagakan pasukan masing-masing tak terkecuali Palgunadi.
Beberapa prajurit menyelamatkan rakyat yang tengah berada di alun-alun untuk menjauhi arena peperangan. Putri Anggraini dengan pengawalan khusus dibawa ke tempat yang aman.
Perkelahian berlangsung sangat seru. Raja Paranggelung dengan gagah berani bertanding dengan Panglima Sutakasi. Demikian pula dengan Palgunadi, dengan kelihaiannya memainkan anak panah, sudah banyak prajurit lawan yang tumbang. Mata Palgunadi tak lepas untuk selalu mengawasi keselamatan raja.
Terdengar rintihan lirih dari mulut raja Paranggelung. Pedang Sutakasi berhasil menghunjam ke dada sang raja. Pedang raja terlepas, tangannya digunakan untuk menutupi lukanya. Sutaksi tersenyum sinis. Ia angkat tinggi-tinggi pedangnya. Siap menebas kepala raja.
Tasss! Anak panah dengan kecepatan tinggi menembus jantung Sutakasi. Ia sempat menoleh ke arah Palgunadi yang melesatkan anak panah dari busurnya. Lalu tumbang dan tidak bergerak lagi.
Palgunadi segera menghampiri raja Paranggelung dan memapahnya ke pinggiran alun-alun. Perang berakhir dengan pemenang di pihak Paranggelung.
Para panglima terbaik Paranggelung mengelilingi raja mereka yang ingin bertitah di saat sakratul maut.
“Mana pedangku?”
Seorang panglima menyerahkan pedang kepada raja Paranggelung yang dadanya bersimbah darah itu. Lalu terbatuk-batuk.
“Mulai saat ini aku serahkan tahta Paranggelung kepada Palgunadi. Mendekatlah Palgunadi!”
Palgunadi alias Bambang Ekalaya mendekat ke arah junjungannya. Raja Paranggelung itu memberikan pedang kerajaan kepadanya. Sebuah simbol penyerahan kekuasaan.
“Kini kamu menjadi raja Paranggelung, Palgunadi. Jaga kerajaan Paranggelung beserta rakyatnya. Dan segera kamu nikahi Anggraini menjadi permaisurimu!”
Raja Paranggelung batuk lagi, kemudian mangkat.
Tancep kayon!