Lagu dangdut Darah Muda yang dilantunkan oleh Bang Haji Rhoma Irama terdengar nyaring dari radio transistor warung makan milik Cak Kandam. Warung makan bermerek Seroja Ungu siang itu ada lima pengunjung. Belum selesai Bang Haji bernyanyi, tiba-tiba masuk seorang anak sekolah dengan kepala bocor, darahnya membahasahi lengan baju putihnya. Tubuh anak itu menubruk lemari kecil tempat di mana radio transistor kesayangan Cak Kandam bersemayam. Brakk!! Radio dua band itu pun jatuh, dan mati.
Cak Kandam dan pengunjung warung makan terkejut. Cak Kandam mendekati si anak sekolah berseragam putih abu-abu dan dengan geram menarik krah bajunya.
“Kamu tawuran lagi? Anak SMA mana kamu? Lihat, radio kesayanganku hancur berantakan begini!” Cak Kandam melepaskan cengkeramannya dan memungut radio yang terbelah jadi dua itu.
“Ampun Lik… saya nggak ikut tawuran kok. Saya dikira anak SMA 69, saya dikejar-kejar anak SMA 96 dan kena timpuk ujung gesper mereka,” kata anak SMA yang terduduk lemas di samping lemari.
Cak Kandam mengamati badge di lengan kanan baju seragam anak sekolah. Tertulis SMAN 66. Ia lalu alihkan pandangan ke jalan depan warungnya. Terlihat segerombolan anak sekolah saling mengejar sambil berteriak-teriak.
Rasanya hari-hari belakangan ini ada saja anak sekolah yang tawuran di jalanan di depan warung Cak Kandam. Ia segera ingat pada anak sekolah di warungnya. Ia mengambil air putih dan diberikan kepada anak tersebut.
“Mau jadi apa generasi muda negeri ini kalau pekerjaanya cuma tawuran melulu. Apa di sekolah mereka nggak diajari budi pekerti toh ya. Eh, Le, kamu tahu nggak apa sih yang mereka ributkan kok sampai tawuran macam tadi itu?” keluh Cak Kandam yang dilanjutkan dengan bertanya kepada si kepala bocor.
“Anu Lik… biasanya sih masalah sepele. Urusan gengsi. Nyek-nyekan. Awalnya adu mulut kemudian disambung dengan adu otot,” papar si anak sekolah.
“Kamu sendiri, bener nggak sekolahmu?” tanya Cak Kandam.
“Nggih Lik. Saya nggak mau membuat kecewa orang tua yang telah menyekolahkan saya,” jawab anak sekolah.
“Apa sekolah mereka nggak ada kegiatan OSIS to Le, seperti Pramuka atawa apa gitu. Kok pulang sekolah malah main tawuran di jalanan!” kata Mas Kyaine, sambil mengelap tangannya setelah menghabiskan sepiring nasinya.
“Mestinya ada Paklik. Kalau di sekolah saya, setiap murid mesti mengambil kegiatan eskul, sehingga nggak sempat lagi memikirkan tawuran,” papar si anak sekolah.
“Oh iya Mas Kyaine, menurut sampeyan Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran pripun?” tanya Cak Kandam.
“Para remaja bangsa ini memerlukan tempat penyaluran darah mudanya yang selalu berapi-api. Tentu saja penyaluran yang sifatnya positif. Kurang apa coba kurikulum di sekolah-sekolah? Di sana ada pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, belum peran aktif guru BP dalam memberikan bimbingan dan konseling,” Mas Kyaine menyeruput kopi hitamnya.
“Terus bagaimana, Mas?” tanya Cak Kandam.
“Tempat penyaluran yang saya maksud adalah gelanggang remaja. Setiap kota mestinya dibangun gelanggang remaja, tempat para remaja menyalurkan bakat dan kemampuannya. Dari pada energi habis untuk tawuran apa tidak lebih baik ikut kegiatan karate atawa taekwondo. Dari pada teriak-teriak di jalanan, bisa disalurkan ikut folksong, teater atawa baca puisi. Yah, pokoknya di gelanggang remaja, semua potensi remaja bisa ditampung,” ujar Mas Kyaine.
“Dari pada bikin mall ya Mas?” teman Mas Kyaine ikut berkomentar.
“Saya juga punya Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran loh Mas!” kata Cak Kandam.
“Eits…. jangan diuraikan di sini Cak Kandam. Mendingan sampeyan ikutan Kontes Unggulan yang diadakan oleh Komandan BlogCamp. Okey?” usul Mas Kyaine.
Cak Kandam segera mengambil laptopnya. Perangkat wifi yang terpasang di warung makannya, segera tersambung ke laptopnya. Jari-jemarinya menuliskan ide di kepalanya ke dalam blognya.