Drs. H. Soerjatmadji Tedjoningrat, MM, MH

Penyidik menyeruput kopi tubruk lalu mengambil sebatang kretek dari bungkusnya. Menyulut dengan pemantik warna perak. Asap mengepul sebagian menutupi wajahnya. Ia tersenyum kepada Mas Suryat, yang mengibaskan tangannya mengusir asap yang mengganggu pernafasannya. Penyidik telah siap di depan komputernya, menjalankan tugas menyusun BAP.

“Maaf pak, bisa pinjam KTP-nya!”

Mas Suryat merogoh tas selempangnya, karena ia menyimpan KTP di selipan dompet yang ia taruh di dalam tas. Lalu ia ulurkan KTP yang sudah buram karena sempat dua kali masuk mesin cuci.

“O, KTP-nya burem ya. Sudah foto e-KTP belum pak?”

“Belum tuh. Belum ada panggilan dari Kelurahan untuk foto. Di tempat Bapak sudah?”

“Sudah. Tapi katanya KTP jadinya setahun lagi. Suryatmaji Tejoningrat….”

Penyidik mengeja nama Mas Suryat untuk dituliskan dalam BAP. Ia melipat jidatnya. Seperti kesulitan mengeja huruf-huruf dari nama Mas Suryat.

“Wah, nama Bapak sulit dieja. Pakai ejaan lama ya. Bapak masih keturunan ningrat?”

“Ah enggak. Cuma mengandung kata ningrat saja.”

“Agama?”

“Islam.”

“Pendidikan terakhir?”

“Sarjana.”

“Gelarnya?”

“Perlu ya? Bukankah di KTP nggak tertulis gelar saya?”

“Iya pak, kalau di BAP harus lengkap.”

“Di depan Drs. Di belakang MM koma MH.”

Penyidik mendekatkan matanya ke layar komputer, menuliskan gelar kesarjanaan Mas Suryat.

“Sudah haji kan pak?”

“Iya. Tapi nggak usah ditulis.”

Loh, itu kan juga gelar pak?”

Lah, siapa yang bilang itu gelar? Haji itu kan ritual ibadah salah satu rukun Islam, urusan pribadi manusia dengan Gusti Allah.”

“Jadi salah dong jika kita memanggil seseorang itu dengan sebutan haji?”

Nggak salah juga. Itu hak seseorang memanggil orang lain dengan sebutan haji atawa hajjah. Bagi yang dipanggil haji atawa hajjah tadi mesti sadar konsekuensinya sebagai orang yang pernah melaksanakan ibadah haji. Ia seperti diingatkan untuk selalu bersikap dan bertindak seperti yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi, terutama hikmah di balik ritual ibadah haji.”

“Jadi gelar hajinya nggak usah ditulis di belakang gelar Drs ya pak?”

Nggak. Nggak usah. Menurut saya, pemberian gelar haji biarlah urusan Gusti Allah. Apakah wukuf-nya dulu memang ikhlas karena Gusti Allah. Apakah melempar jumrah-nya dulu memang ikhlas karena Gusti Allah. Apakah tawafnya memang ikhlas karena Gusti Allah, apakah sai yang dilaksanakan dulu memang ikhlas karena Gusti Allah. Ikhlas karena Gusti Allah maksudnya ia tahu makna di balik ritual-ritual haji, nggak sekedar ikut-ikutan. Apalagi hanya untuk sebuah gelar haji ketika tiba di tanah air.”

Asap dari mulut penyidik tak henti mengepul.