Didatangi Gendhuk Limbuk

Sejak pindah ke rumah, saya punya kesibukan baru: siram-siram dan merawat tanaman kesayangan. Luas halaman sekitar 8m2 cukup untuk mengisi waktu luang di senja hari atau di hari sabtu/minggu. Musim kemarau yang super panas membuat perawatan tanaman agak merepotkan sebab kudu pintar-pintar mengirit air untuk penyiraman.

Kemarin saya sengaja pulang agak sorean – biasanya sih malam, karena tak ada lagi pekerjaan kantor yang perlu diselesaikan. Sambil menunggu beduk maghrib waktu saya manfaatkan untuk ngurus tanaman. Di halaman tersebut saya tanami aneka pohon seperti mangga, palem, bintaro, mahoni, pepaya, kenitu, kelengkeng  dan tanaman bunga/hias seperti alamanda, bougenville, revalina, anting putri, dan masih ada beberapa lagi.

Kula nuwun…

Saya menoleh ke arah asal suara. Hmm, cukup aneh sapaan permisi seperti itu di tlatah Sunda, biasanya menggunakan “punten”.

Mangga pinarak, mbak!”

Saya langsung bisa mengenali perempuan yang punya prejengan lemu ginak-ginuk itu. Pasti Limbuk, siapa lagi coba? Tapi saya terkejut dengan kendaraan yang ditumpangi oleh Limbuk, kereta kencana dari labu berukuran triple X1. Tentu saja super-besar supaya bisa Limbuk bisa muat di kereta kencana tersebut.

“Apa betul di sini rumahnya Paklik Guskar?”

“Betul, mbak Limbuk. Mangga loh pinarak. Mau di teras saja atau di dalam?”

“Di teras saja. Nanti kalau di dalam sumuk. Tapi ngomong-ngomong, apa saya berbicara dengan Paklik Guskar? Anu, panjenengan dapat salam dari mBok Cangik.”

Saya persilakan ia duduk. Kasihan juga melihat cara Limbuk duduk di kursi teras. Maaf, kursi teras saya tidak didesain untuk bokong sebesar milik Limbuk.

Ia mengulurkan sebuah buku karya Nh. Dini, La Barka.

“Ini cinderamata dari mbok Cangkik, Paklik.”

“Oh, sampaikan terima kasih saya kepada simbok, ya. Ngomong-omong, angin apa yang membawa mbak Limbuk hingga bisa sampai di Bumi Pangkal Perjuangan ini?”

“Simbok Cangik selalu mengajarkan kepada saya untuk belajar kearifan lokal dari lingkungan sekitar. Bumi Nusantara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, bukannya menjadi universitas kehidupan, Paklik? Saya kan sudah nganglang jagad, lah ke Karawang malah belum pernah.”

Limbuk tertawa hingga membuat bahunya bergerak naik turun.

Saya minta permisi sebentar untuk merapikan selang yang tadi saya gunakan untuk menyiram tanaman. Eh, Limbuk malah mengikuti langkah saya. Ia rupanya tertarik pada dua pohon mahoni yang baru tumbuh sekitar satu setengah meteran itu.

Ia mengelus daun-daun mahoni sambil menembang lirih. Jiwanya memuji penuh. Betapa kaya tanah airku. Betapa bijak alam di sekelilingku.2

Tak terasa waktu berlalu. Senja digantikan malam. Limbuk saya suruh untuk masuk ke rumah, sebab ora ilok surup-surup seperti itu berada di luar rumah.

“Mbak Limbuk, saya tak mandi dulu. Habis itu saya ajak berkeliling Kota Karawang untuk bersama-sama belajar dari kearifan lokal.”

Mata Limbuk berbinar menyambut ajakan saya. Anda mau ikutan nggak?

Catatan kaki:
1Disebut dalam buku Gendhuk Limbuk bab Demam Cinderella Ala Kebun halaman 44, karya Suprihati (Sixmidad, 2015)
2Tertulis dalam buku Genduk Limbuk bab Kala Mahoni Bersemi halaman 71, karya Suprihati (Sixmidad, 2015)