Dialog imajiner dengan Aung San Suu Kyi.
Kaum yang paling tersiksa di dunia itu akhirnya mendarat di Bumi Aceh. Dengan tangan terbuka dan hati yang ikhlas warga Aceh menyambut dan menolong para pengungsi Rohingya tersebut. Hatiku miris betul menonton dan membaca berita tentang penderitaan mereka.
Hanya doa dan sedikit bantuan dana yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban penderitaan mereka. Takmir mesjid perumahan tempat tinggalku sengaja memasang kotak amal di tengah pintu masuk bertuliskan “Donasi untuk Rohingya”.
***
Sejak zaman kuliah dulu, aku sangat mengagumi Aung San Suu Kyi, perempuan perkasa pejuang demokrasi Myanmar atau Burma. Fotonya (berupa fotokopian ukuran A3) aku pasang di kamar kos. Pada tahun 1991, bersamaan dengan tahun kelulusan kuliahku, ia menerima Nobel Perdamaian sebab ia berjuang mengobarkan demokrasi di negaranya tanpa menggunakan kekerasan dalam menentang kekuasaan rezim militer.
Pada suatu hari kelak aku ingin menemuimu, Daw Suu. Janjiku pada diri sendiri ketika aku melepas foto Aung San Suu Kyi dari dinding tripleks kosan, karena aku harus merantau ke Ibu Kota.
***
“Akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Daw Suu,” aku menyapa Aung San Suu Kyi yang tengah bersembunyi di 6th Fl. Siam Discovery Bangkok.
Aung San Suu Kyi dengan tajam menatapku, tanpa ada senyuman di wajahnya.
“Aku salah satu pengagum Daw Suu. Namaku Sukarno, dari Indonesia,” aku memperkenalkan diri.
“Sukarno? Namamu sama dengan tokoh Indonesia yang aku kagumi, Presiden Sukarno. Perjuangan Sukarno telah menginspirasiku dalam mengobarkan semangat demokrasi di negeriku, Burma!” ia mulai bersikap ramah kepadaku.
“Orang di seluruh dunia sedang bertanya di mana Aung San Suu Kyi berada. Apa yang sedang dilakukan Suu Kyi dan mengapa ia hanya diam atas isu Rohingya? Tahukah, Daw Suu, para pengungsi Rohingya kini sedang berada di Aceh Indonesia?” kataku sambil ngapurancang karena hormatku kepadanya.
Ia diam saja.
“Mengapa diam, Daw Suu? Dengan hanya berdiam begitu, Daw Suu seolah membiarkan terjadinya kekerasan atas Rohingya. Atau Daw Suu nggak mau membela Rohingya karena ada agenda ingin memenangi pemilu?” aku nerocos saja.
Mungkin pertanyaanku membuat Aung San Suu Kyi sebal. Terus terang saja, pertanyaan-pertanyaan yang aku lontarkan hanya pengutip dari berita-berita di koran. Perempuan yang kini berusia tujuh puluh tahun itu pun menghela nafas panjang.
“Aku tidak diam karena alasan politis. Aku diam karena pihak mana pun yang aku bela, darah akan selalu tertumpah. Jika aku membela hak asasi manusia, Rohingya hanya akan menderita,” ujarnya, persis apa yang ia katakan kepada wartawan Washington Post Desember tahun lalu.
Sekarang gantian aku yang terdiam, menelan dan mencerna kalimat yang ia ucapkan.