Dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga dan Uje

Uje – Ustadz Jefri al Bukhori, memang pendakwah yang fenomenal. Membaca kisahnya, kok saya teringat kisah Kanjeng Sunan Kalijaga. Keduanya sama-sama pendakwah meskipun dibedakan masa ratusan tahun, namun sepak terjang dakwah keduanya terbilang mirip. Dan yang pasti, keduanya ustadz gaul yang diidolakan banyak umat.

Kanjeng Sunan Kalijaga di masa mudanya bernama Raden Syahid, ia adalah putra Adipati Tuban di masa redupnya pamor Kerajaan Majapahit. Raden Syahid galau hati ketika menyaksikan nasib rakyat yang hidup sengsara. Diam-diam ia suka mencuri bahan makanan yang tersimpan di gudang Kadipaten, lalu ia bagi-bagikan ke rakyat. Sepintar apapun ia bertindak, namun ketahuan juga oleh ayahnya. Maka ia diusir keluar Kadipaten. Justru pengusiran itu membuat Raden Syahid malah menjadi perampok. Robin Hood versi Jawa.

Suatu hari, Raden Syahid kena apes ketika ia bertemu dengan Sunan Bonang yang akan dirampoknya. Jangankan mendapatkan hasil rampokan, wali tua itu malah mencerahkan hidupnya. Ia menyatakan diri menjadi murid Sunan Bonang, dan oleh Sunan Bonang diminta menunggu kedatangannya di kunjungan berikutnya.

Raden Syahid pun menunggu dengan duduk bersemedi di pinggir kali. Saking lama dan khusuknya bersemedi, tak ia sadari sudah berbulan-bulan ia menunggu hingga rerumputan dan semak belukar menutupi tubuhnya. Dari kisah penantian inilah ia mulai dikenal dengan sebutan Kalijaga. Singkat cerita, Sunan Bonang menemui Raden Syahid untuk mewariskan ilmu agama dan spiritual kepadanya.

Tak hanya kepada Sunan Bonang saja ia berguru, tetapi juga kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri. Ia juga berguru ke Pasai dan menjadi pendakwah hingga wilayah Patani di Thailand Selatan. Sekembalinya ke Tanah Jawa ia diangkat menjadi anggota Wali Sanga, sembilan pemuka dan penyebar agama Islam di Jawa.

Cara berdakwah Sunan Kalijaga terbilang unik. Ia adalah pencipta ‘baju takwa’ dan tembang-tembang Jawa, serta membuat sebuah tradisi Grebeg Mulud untuk memperingati Maulud Nabi yang dikenal sebagai upacara Sekaten (dari kata syahadatain, pengucapan dua kalimat syahadat) yang dilakukan saban tahun untuk mengajak orang Jawa masuk Islam. Tembang Ilir-ilir juga ciptaannya. Karya besarnya yang lain yaitu menciptakan bentuk ukiran wayang kulit, yang ia gunakan sebagai media dakwah.

Semua kalangan dapat menerima cara dakwah yang membumi seperti itu. Berdakwah melalui seni. Islam berkembang sangat pesat di tanah Jawa. Dibandingkan dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang lebih menitikberatkan pada olah batin untuk pencapaian diri sejati, Kanjeng Sunan Kalijaga lebih fokus pada pengamalan praktis kehidupan sehari-hari orang Jawa dalam memahami manunggaling kawula gusti.

Bukankah yang dilakukan Uje di zaman sekarang mirip yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga? Beliau masuk ke kalangan kaum muda – generasi penerus bangsa – dengan gaya yang bisa diterima oleh mereka. Melalui seni, Uje berdakwah. Ia tak berjubah, namun ucapannya mampu menggetarkan  dan menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah.

Ngomongin ‘baju takwa’ Kanjeng Sunan Kalijaga yang menjadi tren di masanya, Uje pun memperkenalkan aneka model ‘baju takwa’, di mana fesyen jenis ini sangat digemari para lelaki muslim negeri ini.

Keduanya berdakwah dengan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti dan diresapi oleh umat. Pun ketika menyanyikan sebuah tembang, keduanya bersuara sangat merdu memesona para pendengarnya. Energi yang timbul terbawa ke dalam relung hati terdalam, begitu menenteramkan.