Brutu

Bapak (yang saya maksud bukan hanya bapak saya) selalu mendapatkan keistimewaan ketika di rumah berlauk ayam yang sengaja disembelih sendiri. Keistimewaan itu berupa hak mendapatkan bagian daging yang enak, yaitu brutu. Bahkan untuk menyisihkan sepotong brutu, mesti diembel-embeli dengan kalimat: anak kecil nggak boleh makan brutu, ntar jadi pelupa.

Sebuah pamali yang sengaja diciptakan oleh para orang tua untuk melanggengkan keinginan mendapatkan sepotong daging yang bernama brutu.

Brutu adalah segumpal daging tempat tumbuhnya bulu ekor ayam. Dari wilayah brutu itu pula, si ayam melakukan pipis dan èèk.

Lain lagi brutu-nya bebek. Meskipun sama-sama enak, brutu bebek berbau sangat khas. Orang Jawa bilang ambune prêngus.

Setelah saya menjadi seorang bapak, ternyata saya mewarisi keistimewaan mendapatkan sepotong brutu. Bayangkan, sekali makan kadang saya akan mendapatkan lebih dari satu potong brutu, karena daging ayam/bebek yang dimakan potongan paha-atas, sementara anak-anak tidak mau makan yang bagian brutu.

Kok anak-anak sampai tidak mau makan brutu? Suatu ketika, kami beli daging ayam panggang utuh. Meskipun daging ayam tersebut telah dipotong-potong namun bagian brutu tidak ikut terpotong. Melihat anatomi brutu tersebut, anak-anak tidak mau memakannya. Alasannya, jijik. Ya sudah, kebetulan. Saya nggak perlu mendoktrin mereka dengan pamali-brutu.

Keuntungan lain, saya selalu mendapatkan bagian kepala. Lagi-lagi, anak-anak saya tidak suka daging bagian kepala. Menurut saya, makan daging bagian kepala sangat mengasyikan. Diawali dengan menyobek kulit leher, lalu mengorek daging di sela-sela tulang leher. Prosesi selanjutnya menguliti kepala hingga tinggal tulang tengkoraknya, dan terakhir memecahkan batok kepala …. mak plêthus… terus nyucup otaknya.

Kebayang nggak?