Plontos

Anda tentu kenal dengan notasi lagu: do-mi-do-mi-fa-sol-sol-si-do-si-do-si-sol. Benar, itu notasi lagu dolanan anak-anak Jawa yang berjudul Gundul-gundul Pacul. Hari ini saya mendapatkan komentar dari seorang kawan, “Wah… modelnya gundul pacul nih mas!” Lalu sambil tersenyum saya jawab, “Sampeyan berani tampil seperti ini?” Kawan saya menggelengkan kepala, lalu tertawa.

Ya, malam minggu kemarin saya pergi ke barber shop untuk cukur habis. Asli gundul, bukan AGUS = agak gundul sedikit! Apa pasal?

Penampilan rambut saya sehari-hari yang sudah saya lakoni belasan tahun adalah model cepak doang dengan ukuran rambut paling panjang 1 cm, sehingga paling lambat saban tiga minggu sekali saya kudu potong rambut. Lalu kenapa kemarin rambut saya babat habis?

Gundul kali ini sebagai tanda syukur saya karena terlepas dari suatu perkara birokrasi pemerintahan yang berbelit dan membebani fikiran. Pertengahan tahun 2007 saya mendapatkan tugas untuk mengurus suatu perizinan di suatu kementerian. Perizinan tersebut prosedurnya sangat berbelit dan melewati banyak meja. Akhir Pebruari 2012 ada tanda-tanda kalau izin tersebut akan kelar. Maka saya berucap: nekjika urusan ini selesai aku pengin cukur gundul!

Saya berucap seperti itu sebenarnya nggak kali ini saja. Dulu, di tahun 1983 ketika mengikuti tes seleksi masuk SMA saya juga berucap kalau lolos seleksi pengin gundul. Terjadilah! Saya berpenampilan plontos ketika hari pertama masuk jenjang SMA. Kok? Kalau nggak lolos seleksi bapak minta saya masuk SPG!

Mengucap lagi pada kali lain ketika saya kuliah. Di semester enam, saya didaulat oleh teman-teman menjadi ketua umum sebuah organisasi mahasiswa berbasis keagamaan. Saya yakin teman-teman salah meminta saya jadi pemimpin mereka. Dari segi pemahaman agama saya nggak ada seujung kuku mereka. Islam abangan: sekedar menjalankan yang wajib-wajib saja. Saya cukur gundul untuk melepaskan beban setelah habis masa kepengurusan saya selama setahun.

Cukur gundul berikutnya ketika saya ke Pusat Bumi tahun 2008 dan 2010 lalu. Rasanya lebih plong ketika tahallul (potong rambut) dengan cukur habis, meskipun tuntunan Kanjeng Nabi hanya mensyaratkan beberapa helai rambut saja yang dipotong. Cara memotong rambut saat di Mekkah dulu cukup ekstrim. Tukang cukurnya menggunakan pisau cukur. Dalam hitungan detik, pisau menari-nari di kepala saya dan habislah rambut saya tidak bersisa, tinggal kulit kepalanya saja.

Plontos sungguh dapat mendinginkan kepala, meringankan beban fikiran.

Cobalah kalau berani!