Berpensiun dini

Meskipun saya terbiasa berhadapan dengan orang, baik dalam forum resmi atau suasana warung kopi, berada di ruang besar milik Ki Priyagung sungguh membuat saya grogi. Saya sudah menunggu sepuluh menit, beliau belum juga menemui saya. Ya, kemarin sore beliau meminta saya menghadap, sehubungan dengan surat permohonan saya untuk pensiun dini.

Suara dehemnya menyentak lamunan saya. Beliau membuka pintu dan berjalan ke arah saya, tiada terdengar oleh telinga saya.

Yak apa sampeyan ini. Umur masih muda, semangat kerja masih menyala-nyala kok mengajukan pensiun dini. Sudah berapa tahun sampeyan bergabung di korporat ini?”

“Hampir dua puluh tahun, Ki.”

Opo wis nggak krasan lagi membesarkan korporat bersama manajemen? Fasilitasmu kurang?”

Mboten. Bukan itu Ki.”

“Lagi ada masalah apa sampeyan ini. Surat sampeyan ini sungguh mengagetkan manajemen. Iya, manajemen sih belum mengadakan rapat membahas surat permohonan sampeyan ini. Sampeyan tak panggil untuk klarifikasi dulu, sebelum manajemen mengambil keputusan. Sik.. sik… tak ulangi lagi pertanyaannya, apa sampeyan lagi punya masalah?”

Nggih, leres Ki. Betul.”

“Ha..ha… antik bener sampeyan ini. Semua orang di tlatah sini tahu kalau sampeyan ini kan tempat mengadu, tempat menyelesaikan masalah. Ini kok malah sampeyan  yang kena masalah. Wis..wis.. masalah opo kuwi?”

“Masalahnya saya sedang terserang malas. Sangat malas. Cepat bosan. Kadarnya sudah akut.”

“Ha…ha…ha… Yo..yo… gampang…gampang… ngene wae, begini saja. Tak kasih cuti dua minggu, sampeyan gunakan untuk jalan-jalan. Kalau perlu tak sediakan tiket pp. Sampeyan pengin ke mana? Eropa? Amerika? Saudi Arabia? Tasikmalaya? Medan? Toba? Medan? Surabaya? Bukittinggi? Kuningan? Kendal? Sak karepmu. Bakal tak ijabahi.”

Mboten. Saya tetap ingin pensiun dini saja.”

Suasana mendadak sepi. AC ruangan serasa semakin dingin saja, siap membekukan aliran darah saya. Ki Priyagung mondar-mandir di ruangannya. Beliau meletakkan kaca mata, kemudian menggelung rambut panjangnya.

“Terus terang, manajemen belum siap yen sampeyan pensiun. Piye, kalau pensiunnya menunggu manajemen mendapatkan pengganti sampeyan? Kira-kira sebulan dua bulan dari sekarang. Angel nggolekane, susah nyarinya.”

“Tetap nggak bisa, Ki.”

“Jiah.. ampun deh sampeyan ini. Lalu apa kegiatan sampeyan setelah pensiun nanti?”

“Lah.. ya masih bergabung membesarkan korporat ini bersama-sama Ki Priyagung. Nama saya kan ada di akta pendirian korporat.  Pripun to?”

Weladalah… gojlang-gojling, malah gawe mumet ngene ki piye. Sakjane, sampeyan ini serius nggak sih mau pensiun dini?”

Lah inggih serius, to. Malah dua-rius!”

“Mau pensiun tapi masih ingin membesarkan korporat. Nggak jelas…!!”

Pripun?”

Pripun apane?”

“Pensiun kulo.”

“Pensiun apa?”

“Pensiun ngeblog!”

What???? Sampeyan mau pensiun ngeblog?”

Ki Priyagung jadi patung mendengar keputusan saya di Rebo Kliwon, 27 Jumadilawal Dal 1943 Wuku Galungan Windu Kunthara.