Bentrok dua Bambang

Keduanya sama-sama bernama depan Bambang. Sama-sama ksatria pilih tanding. Sama-sama cakep. Sama-sama naksir cewek yang sama: Jembarwati, bunga desa Karang Tumaritis. Bambang yang lebih jangkung bernama Bambang Penyukilan, satunya bernama Bambang Sukati. Hebatnya Jembarwati, ia pandai bersiasat hingga kedua lelaki itu tidak tahu satu sama lain kalau mereka naksir perempuan yang sama.

~oOo~

Bambang Penyukilan berasal dari kampungnya para jin. Ia sendiri sesungguhnya anak dari pimpinan jin, maka tak heran kalau ia sombong. Maklum anak lurah jin. Waktu ia sedang jalan-jalan sore di sekitar desa Karang Tumaritis, dijumpainya seorang gadis cantik. Ia memperkenalkan dirinya dan minta agar hubungan tidak hanya sebatas kenalan, tetapi ditingkatkan menjadi teman. Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, semula yang hanya teman meningkat menjadi hubungan teman tapi mesra.

“Mbar, aku suntingkan kembang kamboja ini di telingamu biar kamu makin moncer kecantikanmu!” Jemari tangan Bambang Penyukilan segera menyibakkan rambut Jembarwati dan menyelipkan kembang kamboja berwarna ungu di atas telinga kanan Jembarwati.

“Kini, tersenyumlah…” Dan Jembarwati hatinya riang bukan main saat Bambang Penyukilan melontarkan kalimat-kalimat puitis yang mengagumi kecantikannya.

“Aku tunjukkan tempat yang indah!” Tangan Jembarwati menyambar tangan Bambang Penyukilan, kemudian mereka berjalan beriringa. Ada getaran-getaran hebat ketika jemari mereka saling menggenggam erat. Bambang Penyukilan tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia agak menggeser tangannya beberapa inci, hingga lengannya menyentuh dada Jembarwati. Seperti tidak disengaja, Bambang Penyukilan makin menikmati sentuhan itu, sementara Jembarwati jantungnya bergolak, hatinya berdesir setiap kali lengan Bambang Penyukilan menyentuh dadanya yang sedang tumbuh ranum itu.

~oOo~

Tiga hari sebelumnya, pada suatu siang, Jembarwati bertemu untuk kesekian kali dengan Bambang Sukati. Mereka bikin janji di sebuah telaga di pinggir desa Karang Tumaritis. Ya, acara inti  pada siang hari itu Bambang Sukati akan melepaskan panah asmara ke hati Jembarwati.

“Mbar, aku bawakan sapu tangan merah jambu yang harum mewangi. Ini bukan sembarang sapu tangan, karena sapu tangan ini sengaja dijatuhkan oleh dewata penghuni swargaloka agar ditemukan oleh seorang lelaki yang sedang jatuh cinta.”

“Terus, kamu ya yang menemukan sapu tangan itu?”

“Begitulah. Memang nasib baikku mendapatkan sapu tangan ini. Terimalah sapu tangan ini sebagai tanda cintaku kepadamu.”

Jembarwati menerima sapu tangan merah jambu dari tangan Bambang Sukati. Lalu ia simpan di balik kutangnya. Bambang Sukati yang tampan itu ternyata juga perayu maut. Hapal benar ia dengan syair-syair cinta yang diciptakan para pujangga besar. Wajah Jembarwati selalu merona setiap kali kalimat cinta selesai dilontarkan dari mulut Bambang Sukati.

Bambang Sukati harus kembali ke padepokannya. Ia mesti latihan olah-kanuragan lagi. Dan mereka berjanji akan bertemu lagi di tempat yang sama, tiga hari kemudian.

~oOo~

Ternyata, Jembarwati mengajak Bambang Penyukilan ke sebuah telaga yang elok di pinggir desa Karang Tumaritis. Sebuah tempat yang sangat romantis. Bambang Penyukilan mulai berani. Ia lingkarkan tangannya di pinggul Jembarwati. Mata mereka tertuju pada pusaran air di tengah telaga. Mereka diam, namun hati mereka bergolak. Entah siapa yang memulai, mereka saling berpandangan. Wajah mereka mendekat, hidung mereka pun bersentuhan. Jembarwati memejamkan mata, sangat mengharapkan mendapatkan kecupan mesra dari Bambang Penyukilan.

Blarrrrr!!!!!

Jembarwati jatuh terjengkang. Bambang Penyukilan masih dapat berdiri dengan kuda-kuda yang kuat. Mereka sedang diserang oleh seseorang! Bambang Penyukilan menyapukan mata mencari orang yang menyerangnya.

Bambang Sukati keluar dari persembunyiannya. Gemuruh cemburu masih menguasai perasaan hatinya. Matanya menatap nanar pada sosok Jembarwati yang masih terduduk di rerumputan.

Ia menghampiri Jembarwati.

Jembarwati baru menyadari kalau ia lupa ada janji bertemu dengan Bambang Sukati. Hari ini, di tepi telaga.

“Aku tak mengira, Mbar. Ternyata hatimu mendua!”

 Jembarwati diam. Tertunduk.

“Siapa kamu?”

Bambang Penyukilan keder juga mendapatkan pertanyaan mendadak dari Bambang Sukati.

“Akulah kekasih sejati Jembarwati. Mau apa kamu? Ngajak berkelahi? Ayo maju!”

Darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu merasa gagah dan tak mau mengalah. Masa muda masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri walau salah tak perduli*). Saling cemburu cepat memicu emosi masing-masing Bambang. Akhirnya, terjadi bentrok dua Bambang.

Berjam-jam mereka berkelahi. Tubuh mereka sama-sama hancur. Hilang ketampanan mereka. Jembarwati yang ketakutan berlari menuju rumah kepala desa untuk mengabarkan perkelahian itu.

Ki Lurah Semar sebagai pimpinan tertinggi desa Karang Tumaritis merasa masygul karena ketentraman warganya terganggu oleh ulah dua orang remaja. Ketika ia sampai di tepi telaga, ia mendapati sosok kedua Bambang dalam keadaan pingsan dengan tubuh yang hancur dan wajah tidak bisa dikenali lagi. Hanya kejangkungan tubuh saja yang bisa untuk membedakan yang mana Bambang Penyukilan. Tubuh kedua lelaki itu ia bawa ke rumahnya untuk dirawat.

Dengan sabar dan telaten ia obati luka-luka kedua Bambang. Menginjak bulan ketiga, pulihlah kesehatan mereka, namun ujud mereka tak elok lagi. Bambang Penyukilan tangannya panjang sebelah, hidungnya jadi panjang, mulutnya dower, rambut hanya tinggal kucirnya dan perutnya membuncit. Sementara itu keadaan Bambang Sukati tak jauh berbeda yaitu matanya juling, kakinya pincang, tangan patah dengan posisi tulang melintir, mulutnya robek dan suaranya menjadi sengau.

Mereka malu kembali ke rumah masing-masing dengan kondisi tubuh yang demikian itu. Maka Semar pun mengangkat mereka menjadi anak-anaknya. Bambang Penyukilan diganti namanya menjadi Petruk dan Bambang Sukati menjadi Gareng.

Cuthêl.

*) syair lagu Darah Muda karya Rhoma Irama