BAP

Rabu pagi menjelang siang di sebuah ruang penyidik. Mas Suryat duduk manis di kursi panjang, menunggu penyidik datang. Ada koran lama – dua minggu lalu – dibacanya, untuk membunuh waktu daripada bengong. Kira-kira seperempat jam kemudian, seseorang masuk ruangan melepas jaket hitamnya dan menyapa Mas Suryat.

“Panggilan pemeriksaan?”

Mas Suryat menyodorkan surat bersampul coklat, dan menjawab, “Iya pak. Ini surat panggilannya.”

“Silakan duduk di sini!”

Penyidik menyalakan komputernya, sambil membaca surat yang diberikan oleh Mas Suryat tadi.

“Bapak tahu masalahnya, kenapa dipanggil ke sini?”

Nggak paham pak. Hanya mengira-ngira saja. Ada tindak pelanggaran terhadap sebuah pasal sekian ayat sekian undang-undang tentang itu, sebagaimana saya baca dalam surat panggilan itu!”

“Mau minum apa? Kopi?”

“Air putih saja pak. Pagi saya sudah ngopi kok.”

Penyidik keluar ruangan. Mungkin pesan minuman. Cukup lama perginya. Lalu datang seorang ibu-ibu membawa tiga gelas kopi, sebotol akua, dan dua bungkus kretek. Tiga gelas kopi ditaruh di meja-meja di ruangan itu, salah satunya meja penyidik di mana Mas Suryat duduk di depan meja tersebut. Mas Suryat sendiri diberikan botol akua. Dua bungkus kretek diletakkan dekat gelas kopi penyidik.

Sebelum keluar, si ibu menyodorkan selembar bon kepada Mas Suryat. Diterima bon tersebut dengan sedikit memelototkan matanya. Namun, hanya sekejap. Mas Suryat tanggap, ia harus membayar bon pemesanan kopi dan kretek yang dipesan penyidik.

Transaksi pembayaran selesai. Tak lama penyidik masuk ruangan.

“Silakan diminum pak. Bapak merokok?

Nggak, saya nggak merokok!”

“Wah… saya terlanjur membelikan rokok buat Bapak nih!”

“Ya sudah, ambil saja buat Bapak.”

Mas Suryat nyengir, juga penyidiknya. Tapi, nyengirnya penyidik lebih lebar.