Balada dua tiket umroh

April 2011, ketika saya mengantar bapak dan ibu ke Bandara Soekarno-Hatta untuk berangkat umroh, ibu membisikkan kalimat ini, “Kapan ya kedua adikmu bisa berangkat juga?”

Bagi saya, apa yang ia katakan itu bukan merupakan kalimat tanya, namun sebuah permintaan.

“Doakan saja di sana,” jawab saya singkat.

~oOo~

Dalam satu urusan per-ngobyek-an, beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan tali asih yang, menurut saya, luar biasa. Biasanya sih berupa uang.

Matur nuwun bantuannya mas. Kalau berkenan, saya akan memberikan dua tiket umroh!” kata teman yang saya bantu.

Saya tertegun, tak lama. Pikiran saya ingat pada seorang perempuan yang wajahnya dihuni senja, ibu saya. Inikah jawaban doa-doanya?

Anu… kalau misalnya tiket umroh itu bukan untuk saya bagaimana? Untuk adik-adik saya, misalnya?” jawab saya, ragu.

Monggo…. monggo… silakan saja mas… wong tiket ini sudah haknya panjenengan!” katanya ramah.

Esoknya saya kirim SMS kepada kedua adik saya untuk menawarkan umroh (berangkat) bersama atawa sendiri-sendiri, silakan dirembug. Saya juga melaporkan ke ibu.

~oOo~

Dua hari kemudian, saya mendapatkan jawaban dari adik saya. Keduanya menolak karena mereka telah merencanakan bisa pergi ke Tanah Haram bersama keluarganya. Sebuah alasan yang dapat diterima oleh hati nurani dan perlu di-amin-kan. Dua tiket umroh agar diberikan saja ke bapak dan ibu.

Saya menelpon ibu. Bla..bla..bla.. dengan segala keterkejutannya plus rasa syukur karena mendapat kesempatan berkunjung ke rumah Kanjeng Nabi lagi. Besoknya, ibu menelpon saya. “Bapakmu menyerahkan jatah umroh kepada bulikmu!”

Cerita terus mengalir sampai ke tempat kediaman bulik. Bapak benar, ternyata bulik mempunyai keinginan terpendam untuk bisa ke Tanah Haram. Kabar terakhir yang saya terima, bulik sedang merayu suaminya agar sekalian bisa umroh bersama.

Saya nggak tahu, balada tiket umroh ini akan di mana bermuaranya. Pemerintah Arab Saudi baru akan membuka visa umroh Januari 2013 nanti.

Saya masih menunggu rencana Gusti Allah berikutnya.