Ibu adalah surga

(1)

Malam itu aku demikian gelisah. Minyak lampu teplok yang tergantung di bilik kamarku telah habis terserap oleh sumbunya, redup sinarnya. Sebentar lagi gulita. Jantungku terasa makin cepat genjotannya, ketika fikiran membayangkan betapa ngerinya penyiksaan esok hari. Ya, aku akan dibantai atawa tepatnya dipenggal!

Azan subuh terdengar sayup-sayup ditingkahi dengan kokok ayam jago yang bersahut-sahutan dari penjuru kampung. Aku baru saja terlelap, tetapi sepasang tangan kekar telah menarik selimut dan menyeretku keluar kamar.

“Cepat siapkan drumnya… isi dengan air!” perintah si tangan kekar kepada orang di sebelahnya. Aba-aba selanjutnya ditujukan kepadaku.

“Ayo, lepas semua pakaianmu dan masuk ke dalam drum ini,” gertaknya.

Ketakutanku malah menambah dinginnya pagi itu. Aku menuruti perintahnya, masuk ke drum yang tingginya hampir sama dengan tinggi badanku. Gigi-gigiku gemeretak sebagai respon mulai membekunya syaraf-syaraf di sekujur tubuh.

“Jangan keluar dari drum, sebelum aku perintahkan!” kata si tangan kekar. Seorang lainnya menjagaku, duduk di sebuah bangku kayu lapuk sambil menikmati sebatang kretek Nojorono. Bajindul tenan!

Terang tanah. Semburat matahari mulai menghangatkan tubuhku yang masih terendam air. Penderitaanku agak sedikit berkurang. Tetapi tidak lama. Si tangan kekar datang bersama sepeda Raleigh-nya menurunkan karung goni dari boncengannya. Oh… yang dia bawa ternyata balok es, dan tanpa permisi dia masukkan es batu itu ke dalam drum. Ampun…… dinginnya menembus ke tulang belulangku.

Jam 9 pagi. Tangan kekar mengeluarkanku dari drum. Berarti hampir 5 jam aku kungkum, tersiksa di dalam drum. Separoh tubuhku mati rasa. Jemari tangan dan kaki pucat pasi, berkerut dan semakin mengecil. Aku hampir tidak mampu menggerakkan tubuh, hanya kerjapan mata yang bisa kulakukan.

Si tangan kekar mengeringkan tubuhku dengan handuk yang sudah sobek ujungnya. Baju dan sarung baru dikenakan di tubuhku. Si tangan kekar mengangkat tubuhku yang separohnya masih membeku dan meletakkan di sebuah amben.

Pembantaian itu segera dimulai. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya, memanggil nama ibu yang telah melahirkanku, minta kekuatan dan perlindungan. Tetapi suara itu tercekat di tenggorokan. Mataku terpejam kuat, tidak berani menatap apa pun di sekitarku.

“Buka sarungnya!” Suaranya terdengar parau menakutkan.

Jantungku terasa mau lepas dari tempat bergantungnya, mendengar perintah itu. Gemerincing suara pisau yang saling beradu memaksaku membuka mata. Aku makin terbelalak menyaksikan seperangkat pisau, kain perban, obat merah yang baunya menyengat, yang ditaruh di ujung kakiku. Orang di hadapanku memilah-milah pisau yang terjejer rapi itu, seakan menimbang ukuran mana yang pas untuk membantai seorang anak SMP klas 2, hari itu.

Aku menguatkan hati dengan ndremimil melantunkan doa yang kubisa: Duh Gusti Allah, berikan kekuatan kepadaku untuk menjalankan sunnah Nabi-Mu.

Dan, bong supit pun mulai memainkan pisau nan tajam di depan wajahku.

Aku tidak mampu meredam ketakutan atas hilangnya sekerat tetelan daging bawah pusarku. Aku pingsan, cukup lama.

Aku tersadar dari lamunan. Aku lihat sekeliling, bong supit tersenyum, telah menyelesaikan tugas mulianya. Ketika pulang dari bong supit ibu menyambutku. Ia menggenggam tanganku. Tersenyum dan berkata: “Jadilah laki-laki sejati, le!”

(2)

Ada dua sumber pembiayaan yang menjadi andalan ibuku, yakni organisasi PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) tingkat RT – sebuah organisasi untuk memberdayakan peran perempuan untuk kesejahteraan keluarga yang lahir di zaman Orde Baru dan Pegadaian. Sebagai ibu rumah tangga sejati, ia harus pandai-pandai memutar, mengatur, menutup, mengeluarkan dan mengendalikan keuangan keluarga yang jumlahnya sangat minim itu. Maklum saja, bapakku hanya PNS golongan IIA.

Tapi itulah kehebatan ibu. Meskipun punya pinjaman di mana-mana ia pandai mengaturnya. Tak pernah sekalipun aku dengar ada orang mencak-mencak menagih hutang ke ibuku. Semua dibayar tepat waktu. Orang bilang sih, gali lubang tutup lubang tetapi tak pernah terperosok dalam lubang yang digalinya itu.

Suatu ketika aku pernah diminta mengantar ibu ke Pegadaian. Aku bonceng ibu dengan sepeda Raleigh keluaran tahun 50-an. Kami akan menggadaikan sepeda itu!  Hmm… sangat mudah berurusan dengan Pegadaian. Sepeda ditaksir harganya, lalu uang pinjaman berpindah ke tangan ibu. Kami pulang berjalan kaki. Itulah pengalaman yang sangat membekas di kepalaku.

Sebenarnya itu bukan kali pertama bagi ibu berhubungan dengan Pegadaian. Hanya, ketika menggadaikan sepeda itu ibu mengajakku. Barang-barang di rumah yang sering ‘sekolah’ di Pegadaian: mesin jahit, radio, dan jarik.

Jarik? Ya. Jarik adalah sebutan untuk kain (batik), biasa dikenakan oleh perempuan. Ibu punya beberapa lembar, salah satunya pemberian nenek. Ibu memakai jarik kalau sedang pergi kondangan. Aku tidak tahu persis berapa harga yang diberikan oleh juru taksir Pegadaian. Jarik-jarik milik ibu biasanya lama sekolahnya, karena jika jatuh tempo (pengambilan barang) ibu akan nganaki (bayar bunganya) saja.

Apa yang dilakukan oleh ibu tujuannya cuma satu: agar anak-anaknya sekolah semua.

Syahdan, sambil kuliah aku nyambi jadi asisten peneliti. Meskipun kerja part-time, aku mendapatkan gaji bulanan yang besarnya 51.000 rupiah (di mana saat itu sepiring nasi plus lauk seharga sekitar 150 – 250 rupiah atawa ditambah 4000 rupiah bisa buat bayar uang semesteran). Aku tak ingat persis – pada gajian bulan yang ke berapa, aku mengajak ibu ke Pegadaian menebus semua jariknya.

Dan aku pura-pura tidak tahu, sebenarnya jarik-jarik itu cuma beberapa hari saja tinggal di rumah karena setelah itu mereka sekolah lagi di Pegadaian.

(3)

Seingatku, tiga atawa paling banyak empat kali ibu pernah mengajakku nonton pagelaran wayang kulit. Tempatnya tak jauh dari rumah: di rumah tetangga yang kebetulan ada hajatan dan di pendapa kabupaten. Kenangan yang masih menempel di otak saya ketika nonton wayang di pendapa kabupaten dengan dalang Ki Anom Suroto. Lakon yang dimainkan apa, aku lupa. Dan aku juga lupa dalam rangka apa pagelaran wayang ini: untuk memeriahkan HUT kemerdekaan RI atawa kampanye partai beringin.

Pendapa kabupaten tak jauh dari rumah, hanya sepelemparan sandal saja. Jadi, untuk menuju ke tempat pagelaran wayang tak perlu buru-buru. Babak Limbuk-Cangik tentu saja masih aku nikmati dengan mata segar karena sosok ibu-anak yang lucu itu muncul sebelum mataku mengantuk. Apalagi banyolan-banyolan yang dilontarkan pak dalang membuat suasana makin meriah.

Ketika mataku mulai mengantuk aku rebahkan kepala di kaki ibu. Sebelumnya aku berpesan supaya dibangunkan ketika adegan Goro-goro dimulai.

Bagaimana dengan tontonan yang lain?

Ibu juga mengajakku nonton bioskop. Bukan di gedung film, namun di lapangan umum (demikian kami warga desa menyebut lapangan ini). Bukan layar misbar (gerimis bubar), karena bioskop layar tancap ini berada di lapangan umum saat musim kemarau.

Tugasku adalah membawa tikar mendong yang akan kami gelar di lapangan nanti. Bioskop layar tancap ini gratis, sebagai sarana hiburan saat mereka mempromosikan produknya: sabun cuci, rokok, atawa batu battery. Sebelum film diputar mereka berpromosi. Khusus untuk batu battery ada hiburan tambahan yaitu penampilan orang-orang cebol yang menari di atas mobil sambil menawaran batu battery.

Ketika film diputar, hingar-bingar promosi dihentikan. Mata penonton sibuk menatap ke arah layar tancap. Ibu beranjak dari tempat duduknya untuk membeli kacang atawa ubi rebus untuk kami nikmati bersama sambil nonton filmnya. Ketika babak 1 usai, mesin pemutar film perlu didinginkan, mereka kembali berpromosi. Hingar-bingar lagi. Ada yang mendekat ke arah mobil promosi untuk mengikuti undian berhadiah bagi yang membeli produk yang ditawarkan, sementara penonton lain duduk manis menunggu kelanjutan film yang diputar. Waktu itu tak ada adegan seronok yang ditampilkan di dalam film, karena mereka memutar film-film Benyamin S atawa Bagio Cs.

Ada satu lagi momen yang ibu sering mengajakku menontonnya: cembengan. Tak jauh dari rumah kurang lebih 3 km, terdapat pabrik gula. Cembengan adalah pesta yang diadakan oleh pabrik gula untuk menandai awal dimulainya musim giling. Seperti pasar malam, yang berlangsung berhari-hari.

(4)

Sebagai keluarga yang bermahzab Islam abangan – baca: belum menjalankan ajaran Islam secara kaffah, ibu selalu menasihatkan kepadaku untuk berbuat baik. Konsep pahala dan dosa atawa surga dan neraka, tak pernah sekalipun disinggungnya. Hanya: boleh dan tidak boleh. Boleh berarti melakukan perbuatan baik, tidak boleh berarti melakukan suatu perbuatan yang merugikan orang lain. Sangat lugas.

Bagaimana tidak disebut Islam abangan? Menjalankan syariat Islam saja masih pilih-pilih, belum dilaksanakan dengan totalitas. Contoh sederhananya seperti shalat belum bisa tepat waktu, menjalankan puasa masih terbatas puasa wajib, baca Quran belum tentu seminggu sekali, dan masih banyak lagi. Masih jauh dari sunah Kanjeng Nabi.

Satu hal lagi yang dinasihatkan ibu adalah jujur. Tak sepenuhnya aku bisa melaksanakan nasihat yang satu ini, karena sadar atawa tidak aku sering tidak jujur kepadanya. Tapi itulah ibu, pasti ia tahu kalau anaknya tidak jujur ketika ia mengajukan suatu pertanyaan dan aku jawab. Mungkin ia membaca dari raut muka atawa sinar mataku. Sebetulnya, semua itu aku lakukan untuk tidak membuatnya sedih. Misalnya saat aku kuliah dulu. Ibu mengirimkan uang bulanan yang jumlahnya tak seberapa itu, lalu ia bertanya apakah uang yang ia kirimkan cukup untuk sebulan? Tentu saja aku jawab cukup.

Jujur berarti juga tidak mengambil hak orang lain. Gamblangnya, jangan mencuri. Dalam bahasa sekarang tidak melakukan korupsi atawa manipulasi. Begitu nasihat ibu ketika aku dulu mulai masuk dunia kerja.

Waktu aku masih SD, ibu pernah mendongengkan sebuah kisah tentang negeri yang seluruh penduduknya berlaku jujur. Di Nusantara pernah ada kerajaan yang bernama Kaling(a) di wilayah Jepara yang dipimpin oleh Ratu Si Ma. Kerajaan ini sangat terkenal sehingga banyak saudagar kerajaan lain yang singgah di pelabuhan Kaling. Kaling juga menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan dengan Tiongkok. Kaum cerdik pandai dari Tiongkok mencatat ciri dan kebiasaan di Kerajaan Kaling. Kota Kaling dikelilingi oleh pagar kayu, sedangkan Ratu Si Ma tinggal di sebuah rumah bertingkat. Rakyat Kaling kalau makan tidak menggunakan sendok atawa sumpit namun dengan cara muluk – menggunakan kelima jari tangannya. Minumannya berupa tuak yang disadap dari pohon siwalan. Rakyat Kaling menulis di atas rontal. Jika mereka meninggal, mayatnya dihiasi dengan pakaian emas dan di mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar dengan bau-bauan yang harum dan wangi. Dan ini yang paling penting: kejujuran menjadi ciri utama rakyat Kaling. Suatu hari, Ta Che – Kaisar Tiongkok yang berkuasa saat itu mengutus punggawanya yang bernama Fa Hien. Ia diperintahkan untuk meletakkan pundi-pundi yang berisi uang dan perhiasan di pinggir jalan di pusat Kota Kaling. Fa Hien tinggal di Kaling untuk mengetahui dan memantau keadaan pundi-pundi tersebut. Tak terasa tiga tahun sudah ia tinggal di Kaling, namun pundi-pundi tersebut tetap aman di tempatnya dan tak berkurang isinya. Akhirnya, Fa Hien pulang ke Tiongkok dan melaporkannya kepada Kaisar.

(5)

Urusan sekolah anak-anaknya, ibu lebih tahu detil dibanding bapak. Peran bapak menyediakan dana dan tanda tangan rapor anak-anaknya, sedangkan ibu lebih dari itu. Ia bahkan hapal dengan nama teman-teman sekelasku. Jika aku memerlukan sebuah buku misalnya, aku akan bilang ke ibu. Apakah nanti dibelikan atawa tidak, urusan belakang.

Perkara belajar atawa mengerjakan PR ibu tak perlu repot-repot menyuruhku, karena menurutku, tugas anak sekolah itu ya belajar. Dan aku juga tahu diri, di sekolah aku tak berprestasi sehingga perlu banyak belajar.

Sering kali bapak dan ibu bilang kalau mereka tak bisa mewarisi harta-benda, hanya memberi ilmu dengan cara menyekolahkan anak-anaknya sampai bangku kuliah. Dan itu terlaksana.

Di masa SMP dan SMA dulu, kalau pembagian rapor di akhir semester orang tua/wali murid yang harus mengambilnya. Tentu dengan syarat, tak ada tunggakan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) atawa BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan). Untuk urusan ambil rapor, pasti ibu yang akan datang ke sekolahku.

Seingatku, ibu tak pernah mendengar namaku disebut oleh wali kelas sebagai sang juara kelas, bahkan juara ke-10 sekalipun. Meskipun nilaiku sering di atas (sedikit) rata-rata kelas. Tak apa, kata ibu. Memang, proses sekolahku mengalir saja. Teman-temanku naik kelas, aku juga naik kelas. Teman-temanku lulus sekolah, akupun juga lulus. Teman-temanku diterima di sekolah favorit di kota kabupaten, aku pun bisa diterima di sekolah itu. Bahkan nasib baik berada di pihakku ketika aku mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru, aku pun bisa masuk ke perguruan tinggi negeri yang cukup beken di negeri ini.

Kembali ke cerita rapor. Suatu ketika ibu pernah telat mengambil rapor. Alasannya apalagi kalau bukan karena telat bayar SPP. Sepertinya, jarik ibu yang jadi penyelamatnya.

Nanti, malam harinya, rapor itu disodorkannya ke hadapan bapak, dengan berkata singkat, “anakmu naik kelas.” Lalu, sepintas bapak melihat raporku, lalu mengambil bolpen pilot dari saku baju yang tergantung belakang pintu dan membubuhkan tanda tangannya.

Jamanku dulu, untuk masuk SMP atawa SMA mesti melalui tes tertulis. Sistem NEM belum ada. Waktu aku mau masuk SMA, bapak pernah berkata seperti ini, “Nanti kalau tidak bisa masuk SMA 1, kamu sekolah di SPG saja!” Ternyata aku lolos masuk SMA 1.

Kenapa bapak menyarankanku masuk SPG, bukan STM misalnya?

(6)

Bulik adalah ibuku kedua. Siapa bulik? Ia adalah adik perempuan ibuku. Ia mulai ikut ibuku ketika aku berumur setahunan dan ibuku mengandung adikku. Aku tak tahu persis, apakah Bulik tinggal bersama kami itu karena keinginannya sendiri atawa diminta oleh ibu atawa nenekku.

Selama tinggal bersama kami, Bulik juga bersekolah di SPG, Sekolah Pendidikan Guru setingkat SMA dipersiapkan untuk guru SD. Bulik tinggal bersama kami hanya tiga tahun saja, karena setelah ia lulus SPG ia ditempatkan sebagai guru SD di sebuah sekolah dasar di pelosok kabupaten.

Bulik adalah ibuku kedua. Menurut cerita ibu, saban hari aku diasuh oleh Bulik, mulai dari mandi dan menyuapiku. Juga menuntunku ketika aku belajar berjalan. Ingatanku untuk penggalan kejadian tersebut susah aku panggil dari otakku. Tapi aku yakin dan percaya dengan cerita ibu itu.

Ketika aku mulai masuk SD, Bulik sering menyempatkan diri menengokku. Pada momen ulang tahunku (kalau tidak salah saat itu aku duduk di kelas 4 SD), Bulik datang ke rumah dan mengajakku ke studio foto. Aku berfoto berdua dengan Bulik. Sehabis berfoto, Bulik mengajakku ke toko buku dan membelikanku beberapa buku tulis dan perlengkapan tulis-menulis lainnya.

Pada suatu kesempatan, aku (bersama bapak dan ibu) mengunjungi Bulik yang tinggal di sebuah desa tempat ia mengajar. Aku diajaknya berkeliling dari kelas ke kelas. Ia memperkenalkan diriku pada guru yang lain. Lalu, ketika aku pulang Bulik memberiku banyak sekali buku bacaan termasuk majalah Kuncung.

Barangkali sudah nasibnya Bulik. Witing tresna jalaran kulina. Bulik yang mondok di rumah pak lurah, akhirnya diambil menantu oleh pak lurah. Meskipun Bulik sudah punya anak, namun aku merasa ia tetap menjadi ibuku kedua.

Suami Bulik memberikan inspirasi kepadaku. Ia dan adiknya – yang nota bene anak desa, bisa kuliah dan lulus dari universitas beken di negeri ini. Aku pun ingin seperti itu. Sudah kersaning Gusti Allah, lulus SMA aku mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru, aku pun bisa masuk ke universitas yang beken tersebut. Bahkan aku masuk fakultas yang sama dengan adik dari suami Bulik.

Waktu bapak memintaku masuk SPG, barangkali untuk mengikuti jejak Bulik.

(7)

Sudah menjadi kebiasaan di SMP-ku dulu, jika selesai ujian kelulusan diadakan piknik yang diikuti oleh anak-anak kelas 3. Rencana piknik tersebut sudah disinggung oleh Wali Kelas saat membagikan rapor semester sebelumnya kepada orang tua/wali murid. Tempat tujuan piknik saat itu ke Pantai Pangandaran. Cukup jauh dari kotaku yang berada di lereng G. Lawu.

Seminggu sebelumnya, aku sudah memberitahu ibu kapan paling lambat membayar biaya piknik. Jawaban ibu menenteramkan hatiku. Katanya, aku bisa mendaftar jadi peserta piknik.

Tiga hari sebelum batas waktu pembayaran biaya piknik datang pamanku menemui ibu. Saat itu aku masih di sekolah. Ketika pulang sekolah aku dapati paman masih di rumah, rupanya menunggu kepulanganku dari sekolah.

“Le, duduklah di sini,” kata ibu lembut. “Pamanmu datang ke sini untuk pinjam uang, katanya untuk membayar SPP adik-adik sepupumu. Nah, uang yang ada sudah ibu siapkan untuk membayar piknikmu,” sambungnya.

Aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ibu. Tentu saja aku sangat sedih, bayangan indahnya piknik bersama teman-teman langsung buyar seketika. Suara pamanku menyadarkanku dari lamunan.

“Iya Le, paman pinjam dulu ya. Meskipun paman tidak tahu kapan bisa mengembalikan uangmu,” kata paman.

“Ya, wis. Tak apa-apa. Pakai saja,” jawabku sambil beranjak dari tempat dudukku.

Aku tak jadi piknik. Itu pasti. Ternyata sejak ibu mendengar ada rencana piknik di akhir semester ia sudah menyisihkan sedikit demi sedikit uang belanjanya. Tapi pada saatnya pembayaran, uang tersebut dipinjam oleh adik lelakinya. Aku pasrah saja.

Esoknya aku memberi kabar ke teman-teman, aku tak jadi ikut piknik. Alasannya jelas: tidak bisa bayar uang piknik. O, rupanya ada dua teman lain yang tak bisa ikut piknik. Alasannya sama seperti diriku, tak ada biaya.

Maka, kami bertiga menghadap ke wali kelas. Apakah kami dimarahi? Tidak.

Selama teman-teman piknik ke Pantai Pangandaran, kami bertiga diminta piknik juga dan membuat laporannya. Ke mana kami harus piknik?

Wali kelas menentukan tempat piknik kami di sebuah waduk yang asri, yang tak jauh dari sekolahku. Kami bertiga ke sana dengan naik sepeda. Untuk melengkapi laporan, kami menemui juru air yang bertugas membuka dan menutup bendungan untuk mendapatkan informasi mengenai waduk tersebut.

(8)

surga itu adalah ibu
lebih dari lima ratus purnama
ia menjadi surga bagiku

Kasih sayangnya yang tak terbatas itulah surga yang sesungguhnya dalam kehidupan di dunia. Kidung malam yang ia dendangkan adalah doa bagi anak-anaknya, supaya terang jalan hidupnya.

Ada seorang pemuda mendatangi Kanjeng Nabi dan ia mengatakan ingin berjihad di jalan Allah. Kanjeng Nabi bertanya kepada pemuda itu, “Ibumu masih hidup?” Pemuda itu menjawab, “Inggih.” Kemudian Kanjeng Nabi berkata lagi, “Taatlah kepadanya, karena di kakinya terdapat surga.”

Dalam kisah yang lain, seorang anak muda galau hati bertanya kepada Kanjeng Nabi, “Kepada siapakah pertama kali aku mesti berbakti?” Kanjeng Nabi menjawab, “Ibumu!” Sang pemuda melanjutkan pertanyaanya, “Lalu kepada siapa lagi?” Kanjeng Nabi menjawab, “Ibumu!” Pemuda itu bertanya lagi, “Lalu kepada siapa lagi?” Jawab Kanjeng Nabi, “Ibumu. Kemudian Bapakmu!”

Besarnya rasa cinta dan kasih sayang kita kepada ibu, rumusnya tiga kali lipat dibandingkan terhadap bapak kita. Mengapa begitu? Hanya ibu yang mengalami kesulitan dalam menghadapi masa kehamilan, saat melahirkan, dan saat menyusui serta merawat anaknya. Itulah kehormatan yang diberikan kepada Gusti Allah kepada seorang ibu.

Ibu juga surga bagi keluarga. Kesuksesan yang diraih oleh bapak kita ada banyak peran ibu kita yang hebat. Hari ini – setidaknya – apa yang sudah kita berikan padanya?

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia! SELAMAT HARI IBU