Amba kelara-lara

Di malam letih ini biarkan aku memberikan diriku pada tidur yang tanpa perlawanan, mengistirahatkan kepercayaanku padamu. Biarkan aku memasrahkan semangatku, yang mengendur dalam persiapan tak memadai untuk memujamu. Kaulah itu yang menarik selubung malam di atas mataku yang lelah terhadap siang untuk memperbarui pandangannya dalam kegembiraan kesadaran yang lebih segar.1

Keluar dari halaman kraton Saubala, Amba berjalan lesu. Tak ia hiraukan Resi Bhisma yang sedari tadi menunggunya di tempat parkir. Air matanya membasahi pipinya yang ranum. Ia teringat kata-kata Salwa beberapa waktu lalu.

Nggak…. nggak bisa Amba. Kemarin dulu Bhisma telah mengalahkanku dan membawamu lari ke Hastinapura. Insiden itu ditonton banyak orang. Aku malu dan sangat terhina, Amba! So, aku nggak bisa menerimamu menjadi istri apalagi permaisuriku. Wis, sekarang kembalilah ke Bhisma!” kata Salwa.

Amba berlari ketika tahu Bhisma mengejarnya.

Setibanya mereka di Hastinapura, Bhisma mengajak Amba berbicara. Namun, Amba belum mau membuka mulutnya. Ia terlalu sedih. Ia pandangi perjaka tua putra Dewi Gangga itu. Ia sapukan matanya ke seluruh permukaan wajah Bhisma.

“Bhisma, kawini aku!” kata Amba tegas.

“Kenapa? Bukankah sudah aku katakan kemarin, tak mungkin aku kawin dengan siapa pun juga. Aku tak mungkin melanggar sumpahku. Begini saja, aku akan bicara lagi kepada adikku, Wicitrawirya. Barangkali ia mau mengubah pendiriannya dan menjadikan kamu istrinya, bersama Ambika dan Ambalika,” tutur Bhisma dengan hati gemetar.

Seperti dugaan Amba, Wicitrawirya tetap keukeuh nggak mau mengawini Amba. Seperti halnya nasihat Bhisma, Wicitrawirya juga menyarankan Amba untuk mencoba bicara lagi dengan Salwa2. Aku bukan pengemis cinta, bro.

Amba bertahan di Hastinapura selama hampir delapan puluh purnama. Saban harinya ia memakan duka dan kesedihan, yang keduanya menggumpal menjadi rasa benci dan dendam kesumat kepada Resi Bhisma. Ia sudah berusaha menghubungi ksatria pilih tanding untuk membunuh Bhisma untuk membalaskan sakit hatinya, namun tak satu pun ksatria yang sanggup berhadapan dengan Bhisma.

Ia memutuskan untuk tapa-brata dengan tingkatan paling berat persyaratannya. Ia berharap dewata yang agung sudi memberinya jalan keluar untuk melunaskan dendamnya kepada Bhisma.

Upaya yang dilakukan Amba tak sia-sia. Pada tengah malam, ia didatangi oleh Dewa Subrahmamanya dan memberinya kalung bunga teratai. Wahai anakku, siapa pun nanti yang mengenakan kalung bunga teratai ini akan menjadi musuh Bhisma. Amba menyembah takzim.

Apakah selesai penderitaan Amba?

Catatan kaki:
1Dikutip dari Gitanjali karya Rabindranath Tagore.
2Dalam kisah Mahabharata, Amba sekali lagi kembali ke Prabu Salwa dan, tentu saja, cinta Amba ditolak mentah-mentah.