Malam beranjak tua. Mata saya tak mau juga terpejam barang sesaat. Kancilen, kata orang Jawa. Malam itu saya menginap di rumah seorang teman di lereng Merapi, setelah siang dan sore harinya ada kegiatan bakti sosial yang diadakan oleh kampus tempat saya kuliah, sekira 27 tahun lalu.
Sayup-sayup terdengar suara orang mendendangkan sebuah tembang Macapat. Berasa tintrim. Saya beranjak dari amben keluar kamar dan mencari sumber suara.
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panêmbahan Senapati, kêpati amarsudi, sudane hawa lan nêpsu, pinêsu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karyenak tyasing sêsama.
O, rupanya mBah Rekso yang tengah menembang Sinom yang saya kenali dari kalimat amamangun karyenak tyasing sêsama. Saya pun mendekat ke arahnya. Eh, mbah kakung teman saya itu malah menghentikan suaranya dan mempersilakan saya duduk di sebelahnya.
“Tembang Sinom tadi pernah saya nyanyikan waktu SD dulu mBah. Leres tembang Sinom, to mBah?”
“Waktu nembang dulu tahu artinya, ora?”
“He… he… sampai sekarang saja belum paham benar maksud tembang tersebut Mbah.”
“Pupuh ini penggalan dari Serat Wedatama karya KGPAA Mangkunegara IV, meceritakan sifat dari Panembahan Senapati. Nulada laku utama, maksudnya contohlah perbuatan utama, bagi seluruh orang Jawa, yakni perbuatan Manusia Agung dari Ngeksiganda, Panembahan Senapati.”
“Ngeksiganda itu daerah mana to mBah?”
“Ngeksiganda itu nama lain Mataram. Ngeksi artinya mata dan ganda berarti arum, rum atau ram.”
“O, baru tahu saya Mbah. Berarti jalan Ngeksigondo Kotagede itu maksudnya Mataram, padahal saban hari saya melewati jalan itu.”
mBah Rekso tersenyum, lalu melanjutkan kalimatnya.
“Beliau selalu sepenuh hati dalam berusaha, mengurangi hawa nafsu dengan cara bertapa-brata, baik di kala siang maupun malam hari.”
“Kalau kalimat amamangun karyenak tyasing sêsama saya tahu maksudnya, Mbah.”
“Apa coba?”
“Jangan sakiti hatinya.”
“Haiyah…. kuwi rak judul lagune Iis Sugianto. Tapi ya ndak salah-salah amat, sih. Panembahan Senapati selalu berusaha menyenangkan hati sesama.”
Malam itu saya ngangsu kawruh kepada mBah Rekso bagaimana kiat-kiat menyenangkan hati orang lain. Dalam prakteknya ternyata tidak mudah, dan hingga saat ini saya masih terus belajar menerapkan ajaran Jawa amamangun karyenak tyasing sêsama.