Lelaki paruh baya di depan saya tersenyum lebar. Wajahnya sumringah. Ciri gigi pra-molar kanannya yang sudah tanggal masih saya ingat. Hampir setahun saya tidak bertemu dengannya. Jabat erat tangan kami sangat mantap. Mas Tris, begitu saya memanggilnya.
Setahun yang lalu, saat ia berkunjung ke kantor saya ia seperti membawa beban yang sangat berat. Beban pikiran, beban batin dan mungkin beban beneran yang ia angkat. Maklum, ia seorang factory manager, yang tugasnya pasti sangat berat dalam operasional perusahaan di mana ia bekerja.
“Panjenengan kok jauh lebih muda begini toh mas. Seger banget. Apa resepnya?” tanya saya setelah ia saya persilakan duduk.
“Ah…opo iyo. Biasa wae kok dik. Piye, sehat kabeh toh?” ia balik bertanya. “Tapi kata banyak teman memang konon saya makin terlihat lebih muda ha..ha…” sambungnya.
“Alhamdulillah mas, sehat. O iya, masih di PT ASM toh mas? Apa sacho-mu masih suka galak?” tanya saya. Sacho adalah sebutan untuk direktur atawa bos di perusahaan Jepang. Beberapa kali kesempatan bertemu dengan Mas Tris, ia suka curhat mengenai sacho-nya.
“Masih bekerja di sana. Sacho masih begitu. Bisa jadi ia juga mendapatkan tekanan dari bos-nya, supaya produksi selalu meningkat. Tapi, sekarang saya menghadapinya sewajarnya saja. Kalau ia marah, nggak saya masukin ke hati. Dengerin saja apa omelannya,” paparnya.
“Apa itu yang kini membuat Mas Tris seger dan awet nom?” selidik saya.
“Mungkin karena adzan, dik. Sekarang hatiku terasa lebih lapang. Tenang dalam menghadapi masalah. Pokoke, beban di dada ini kok nggak terasa lagi,” katanya.
“Adzan, mas?” tanya saya penasaran.
Lalu Mas Tris bercerita. Suatu hari ketika ia pulang dari kantor, ia mampir masjid di kompleks perumahannya. Lokasi masjid ini ada di sekitar gerbang masuk, sehingga pulang-pergi dari rumahnya ia akan melewati masjid ini. Waktu itu sudah masuk waktu shalat maghrib. Masjid masih sepi, hanya ada seorang jamaah yang sudah tua. Mas Tris bertanya kepada bapak tua itu, apakah adzan maghrib sudah dikumandangkan? Orang tua itu menggelengkan kepala. Merasa waktu sudah masuk shalat maghrib, Mas Tris berinisiatif mengumandangkan adzan.
Kata Mas Tris, inilah untuk pertama kalinya ia menjadi muadzin dengan pelantang suara. Artinya, suaranya terdengar hingga radius puluhan meter, memberi semangat pada orang lain untuk segera bergegas ke masjid. Ada perasaan aneh saat ia menyelesaikan adzan-nya. Ada sesuatu yang lepas dari rongga dadanya. Sesuatu yang lepas itu telah meringankan perasaannya.
Shalat berjamaah pun dimulai, dipimpin oleh pengurus masjid yang biasa mengimami shalat. Selesai shalat, Mas Tris didekati oleh pengurus masjid itu. Mas Tris tentu saja mengenalnya, wong tetangganya juga. Ia mengapresiasi suara adzan yang disuarakan oleh Mas Tris, dan menawarkan Mas Tris untuk menjadi muadzin untuk kesempatan-kesempatan selanjutnya.
Maka sejak saat itu Mas Tris akrab dengan pelantang suara masjid yang memperbesar volume suaranya ketika mengumandangkan adzan. Jika ia terlambat pulang dari bekerja – ia maghriban di perjalanan, tugas adzan akan ia lakukan di waktu isya dan subuh. Tugas menjadi muadzin masih berlangsung hingga sekarang.
“Itulah dik, ceritanya. Setiap saya mengumandangkan adzan terasa terlepas semua beban pikiran, lalu seperti ada kekuatan baru yang membuat saya semakin fit dan seger,” Mas Tris mengakhiri ceritanya.
~oOo~
Adzan subuh di hari Rebo Kliwon dari masjid Nurul Iman tadi, sungguh menenteramkan jiwa. Saya jadi ingat pertemuan dengan Mas Tris minggu lalu.