Kresna triwikrama

Tumben-tumbenan, musim penghujan di Negeri Dwarawati kali ini tak terasa sejuk bahkan membuat gerah bagi siapa pun, tak terkecuali Prabu Kresna. Sebagai tokoh yang waskita, kegerahan yang dirasakan tak wajar. Ada apa gerangan? Prabu Kresna ingin mencari tahu apa yang terjadi di luar keratonnya, maka ia segera mengontak Setyaki menggunakan Whatsapp. Kresna lagi senang-senangnya wotsapan, pakai BBM sudah kuno katanya.

Setyaki adalah sepupunya, tinggal di Padepokan Swalabumi di tlatah Kerajaan Lesanpura. Kebetulan, Setyaki sedang berada di Hastinapura mengunjungi saudara-saudaranya, yang tak lain adalah para Pandawa. Jarak Dwarati dan Hastinapura, tiga jam perjalanan menggunakan pesawat. Itu kalau tidak ada delay.

Baru esok harinya, Setyaki menghadap Prabu Kresna.

“Demikianlah cerita singkatnya, Mas. Saya yakin para Pandawa kalah main dadu dengan Duryodana karena adanya kecurangan yang dibikin oleh Sengkuni secara masif, terstruktur dan sistematis. Saya tahu betul, kalau main dadu secara jujur Yudhistira bakalan menang,” Setyaki melaporkan peristiwa main dadu di istana Hastinapura yang membuat Pandawa kalah telak bahkan harus menjalani hidup di dalam pembuangan.

Muka Prabu Kresna berubah kesumba.

“Duryodana kebangetan! Ia minta Dursanana menyeret Drupadi dan menelanjanginya di muka umum. Para Pandawa yang telah berstatus sebagai budak Kurawa tak bisa berbuat apa-apa. Drupadi menangis, tak ada yang menolonnya… kemudian….,” kalimat Setyaki terputus oleh bentakan suara Kresna yang marah.

“Cukup! Jangan kau teruskan!!!” sela Kresna dengan suara yang menggelegar.

Prabu Kresna bangkit dari duduknya, kepalan tangannya mengeluarkan asap putih dan terdengar suara desisan. Ia berjalan ke alun-alun seberang balairung istana, kemudian ia tengadahkan kepalanya. Sekejap saja tubuh Kresna membesar seperti gunung, wajahnya berubah menyeramkan. Matanya merah mengeluarkan api, gigi-giginya bertaring sangat tajam dan hidungnya mendengus keluar api dari dalamnya.

Hitam legam kulit Kresna yang kini berujud raksasa. Setyaki ketakutan menyaksikan kakak sepupunya bertiwikrama seperti itu. Marah yang amat sangat telah membuat Kresna mengubah ujud dirinya menjadi sosok yang menakutkan.

“Aku akan melumat semua Kurawa!!!” teriak Kresna.

Langkah-langkah kakinya membuat goncangan hebat. Air laut bergolak, gunung-gunung merapi meletus memuntahkan isi perutnya. Apa pun yang ada di depannya ia terjang. Tekadnya hanya satu: menuju Hastinapura dan memusnahkan anak keturunan Prabu Destarasta.

Tak perlu waktu yang lama baginya untuk sampai di Hastinapura. Orang yang pertama dicarinya adalah Duryodana.

Sulung Kurawa itu bersembunyi. Mana berani ia melawan Kresna yang sakti mandraguna apalagi sekarang dalam ujud raksasa. Duryodana terkencing-kencing di tempat persembunyiannya.

Dalam situasi yang genting seperti itu, Resi Bhisma menghampiri Prabu Kresna. Kedatangan Bhisma disertai oleh Bathara Narada dan Bathara Surya. Mereka membujuk Kresna supaya menghentikan kemarahannya.

“Wahai Kresna yang agung, tentu sangat mudah bagimu memusnahkan Kurawa beserta bala tentaranya. Tapi ingatlah janji Drupadi sebelum ia diusir dari negerinya sendiri untuk menjalani masa pembuangan tiga belas tahun bersama suami dan keempat Pandawa lainnya, ” rayu Resi Bhisma.

“Memang Drupadi berjanji apa?” tanya Kresna dengan kesal.

“Ia berjanji selama hidupnya tidak mau bersanggul sebelum rambutnya dikeramasi dengan darah para Kurawa. Nekjika nafsu amarahmu engkau teruskan maka janjinya tidak akan terlaksana,” tutur Resi Bhisma.

Kemudian Bathara Narada dan Bathara Surya menaburkan bunga-bungaan yang semerbak mewangi ke tubuh Kresna. Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu duduk bersimpuh dan menghaturkan sembahnya kepada Prabu Kresna.

Kemarahan Kresna perlahan padam, dan ia kembali kepada ujud aslinya. Kresna meninggalkan Hastinapura dan ia bermaksud mencari ke mana perginya Drupadi dan para Pandawa.