Simbiosis

Dengan memasang wajah memelas seseorang datang ke meja Sang Pemilik Keputusan (SPK), yang saat itu sedang sibuk di depan komputer lipatnya. Bagi SPK, mendapatkan kunjungan mendadak seperti itu sudah biasa. Hanya saja, orang mesti paham saat kapan yang tepat untuk menghadap SPK.

“Ada apa?” tanya SPK dingin.

“Anu pak. Saya mau meminjam uang buat anak sekolah,” jawab seseorang berwajah memelas (SBM) itu.

“Hah! bulan seperti ini uang buat sekolah? Apa saya nggak salah dengar?” mata SPK melotot.

“Anu pak. SPP anak saya nunggak dua bulan,” jawabnya grogi.

“Di zaman sekarang masih ada SPP? Anakmu sekolah di mana? Bukankah semua sekolah di kabupaten ini sudah menggratiskan SPP?” desak SPK.

“Anu…., ”  SBM mati kutu.

“Oke, nggak usah beralasan. Betapa yang kamu butuhkan?” tanya SPK.

“Dua juta pak!” mata SBM berbinar.

“Dua juta? Kapan sanggup mengembalikan?” tanya SPK.

“Bulan depan. Insya Allah,” jawabnya.

SPK memencet sebuah extension. Terhubung kepada pengurus koperasi perusahaan. Terjadi pembicaraan. Lalu telepon ditutup. Tak lama datang pengurus koperasi ke ruang SPK membawa map berwarna biru. Setelah petugas koperasi keluar, SPK berbicara dengan SBM.

“Dari data ini bulan lalu kamu utang koperasi dua juta. Hitungannya jelas. Dan sangat jelas, kamu nggak mungkin akan mengembalikan uang yang akan kamu pinjam dari saya. Kamu punya penghasilan tambahan?” selidik SPK.

“Tidak punya pak,” wajah SBM semakin muram.

“Kartu ATM masih kamu pegang?” SPK makin menyelidik.

“Anu… kartu ATM saya jadi jaminan di bank plecit pak,” kata SBM.

SPK memang mendengar banyak karyawan di perusahaannya mengagunkan kartu ATM kepada para bankir jalanan dengan bunga mencekik leher. Para bankir jalanan itu akan mendebet saldo dengan menggunakan kartu ATM yang dipegangnya.

“Begini saja. Kamu punya barang apa sebagai jaminan utang ke saya? TV atawa motor misalnya?” SPK menawar.

“BPKB motor saya sudah di tangan bank plecit juga pak,” jawabnya.

“Oke. Bagaimana kalau motornya buat jaminan?” SPK menawar lagi.

“Aduh, nanti saya ke kantor naik apa pak?” SBM mencoba berkelit.

“TV-mu? Mungkin harganya nggak sampai dua juta, sih!” tawaran SPK berikutnya.

“Jangan pak. Nanti keluarga saya tidak punya hiburan lagi,” paparnya.

“Punya laptop? Hape?” SPK mengajukan penawaran berikutnya.

SBM diam. Dalam hatinya ia mengumpat. Salah menghadap SPK.

“Begini. Reputasimu sudah saya catat. Kamu suka ngemplang utang. Beberapa orang pernah mengadu ke saya. Mau dengar nasihatku?” mata SPK melotot lagi.

SBM diam. Menundukkan kepala, memainkan jemarinya di atas pahanya.

“Hiduplah sesuai ukuranmu. Jangan membebani dengan utang untuk tujuan konsumtif. Lebih baik jual barang daripada menambah utang. Memang tidak enak. Kamu terbiasa pakai hape, terus nggak punya hape. Kamu terbiasa punya laptop, terus nggak punya laptop. Cobalah menata ulang keuangan keluargamu. Kalau pun saya memberikanmu utang dua juta, saya akan lebih membebani kamu. Sebenarnya, uang dua juta itu untuk apa, sih?” tanya SPK.

“Untuk menutup utang di tempat lain pak,” jawab SBM.