Drupadi membalas sakit hatinya

Semenjak bertemu dengan Sairandri a.k.a Drupadi, pikiran Kicaka makin kacau saja. Ia harus memiliki Drupadi, apapun caranya. Ia pun segera menemui kakaknya, Sudesha.

“mBak, aku sangat menderita setelah bertemu pelayananmu yang cantik kemarin itu. Bantulah aku untuk membujuknya, supaya ia mau jadi istriku.”

“Kicaka, ingatlah. Ia sudah bersuami. Bahkan aku dengar suaminya adalah raksasa jahat yang tak segan membunuh orang apalagi jika istrinya diganggu orang lain.”

“Halah… bisa-bisanya Sairandri saja untuk menakut-nakuti kita. Wis, pokoke terserah mbak saja bagaimana caranya aku bisa mendapatkan dia!”

Kicaka pergi dengan membawa kekecewaan. Sudesha tahu benar sifat adiknya itu. Lalu, sebelum tubuh adiknya berlalu dari pandangannya, ia panggil Kicaka.

“Baiklah. mBak akan membantumu!”

“Nah, begitu dong!”

Kemudian, kakak-beradik itu pun merencanakan sesuatu yang jahat untuk menjebak Drupadi agar masuk ke perangkap Kicaka.

~oOo~

Kicaka memperpanjang kunjungan kenegaraan ke negeri Wirata. Raja Wirata tentu saja tidak keberatan, selain karena Raja Wirata sangat takut kepada adik iparnya tersebut.

Di wismanya, Kicaka mengadakan pesta. Ia mengundang teman dan para kerabat yang tinggal di Wirata. Sementara itu, di bale keputren Sudesha memanggil Sairandri dan memerintahkan untuk mengantar kendi berisi madu ke tempat pesta Kicaka.

“Sairandri, antarkan kendi madu ini kepada adikku, Kicaka. Kendi madu ini persembahanku kepadanya yang tidak bisa menghadiri undangannya.”

“Maaf, paduka permaisuri. Tidak adakah orang lain yang mengantarkan kendi itu selain hamba?”

“Tidak Sairandri. Hanya kamu yang aku percaya untuk tugas ini. Cepat antarkan kendi ini, sebelum aku marah kepadamu.”

Drupadi dengan sangat terpaksa membawa kendi itu menuju wisma Kicaka. Ia mencium konspirasi jahat antara Sudesha dan Kicaka. Ia pun dengan ragu-ragu masuk ke wisma Kicaka. Dan benar saja. Kekuatirannya menjadi kenyataan.

Kicaka yang sudah mabuk, matanya nanar menatap Drupadi. Ia merasa seperti akan ditelan oleh Kicaka. Tanpa rasa malu di antara tamu yang hadir, Kicaka mengeluarkan kata-kata cabul untuk merayu Drupadi.

Sia-sia Drupadi mengeluarkan kalimat-kalimat tolakan dan mencoba menyadarkan Kicaka. Sungguh malang nasib Drupadi. Semakin ditolak, Kicaka semakin beringas. Ia mengejar Drupadi dan berhasil meraih lengannya. Kicaka berusaha mencium Drupadi, tetapi Drupadi buru-buru menampar pipi Kicaka. Makin kalaplah ia. Drupadi ditendang dan jatuh terjerembab di lantai. Semua mata menyaksikan adegan yang memalukan itu, tetapi tak ada seorang pun yang berani menolong Drupadi. Siapa yang berani kepada Kicaka, sang senopati yang sangat berkuasa itu?

Drupadi segera bangkit dan berlari. Ia sangat marah dipermalukan di depan banyak orang. Dalam hatinya yang kalut ia terus berlari dan menuju dapur untuk menemui Bima.

Bima saat itu sedang memotong daging untuk persiapan makan penghuni istana esok hari. Ia terkejut alang-kepalang  mendapati Drupadi dalam keadaan kacau-balau seperti itu. Segera saja Drupadi menceritakan apa yang ia alami. Bima timbul amarahnya.

“Kurang ajar Kicaka. Oke mBak, sekarang izinkan aku menyembelih si keparat Kicaka!”

“Sabar dulu Bim. Jangan grusa-grusu seperti ini. Coba kamu taruh pisaumu dulu. Kita mesti menyusun strategi untuk mengenyahkan Kicaka.”

Bima yang terkenal mempunyai temperamen yang tinggi itu akhirnya luluh juga. Ia mengikuti saran kakak iparnya itu.

“Iya, apa pun yang terjadi aku akan melindungi mBak Drupadi. Jadi, apa rencana kita?”

“Kamu harus membunuh Kicaka, tetapi dengan cara yang lain!”

“Maksud lu?”

Kemudian Drupadi menguraikan rencananya. Bima setuju.

Keesokan harinya, Drupadi sengaja melewati depan wisma Kicaka. Pucuk dicita ulam pun tiba, Kicaka keluar dari wisma dan melihat Drupadi.

“Sairandri, semalam aku terpaksa menyakitimu hingga kamu jatuh terjerembab di lantai. Kamu lihat kan, adakah orang lain yang menolongmu? Termasuk Raja Wirata? Tidak ada kan? Semua tunduk padaku. Sesungguhnya penguasa Matsya itu sebenernya aku! Oke. Sekarang kamu sudah tahu. Kamu akan hidup senang bersamaku. Aku pun akan setia melayanimu, wahai perempuan cantik.”

Rayuan asmara pagi hari itu sebetulnya memuakkan Drupadi. Tetapi karena ia telah menyiapkan strategi yang disusun bersama Bima, terpaksa Drupadi dengan santun mendengarkan kata-kata asmara Kicaka.

“Begini Kicaka. Setelah kejadian semalam aku menyadari kalau tak mungkin aku menolakmu. Tetapi aku tak ingin ada orang lain yang tahu akan hubungan kita. Maukah kamu berjanji untuk merahasiakan hubungan kita? Kalau kamu mau, aku akan menuruti semua keinginanmu.”

Apakah telinganya tak salah dengar akan ucapan Drupadi?  Pagi itu menjadi sangat sempurna di mata Kicaka. Lalu, Drupadi pun melanjutkan kalimatnya:

“Di sebelah bale keputren ada ruang tari. Kalau siang, ruang itu biasanya ramai karena para putri istana belajar menari. Nah, jika malam ruangan itu sepi. Datanglah ke tempat itu malam nanti. Aku menunggumu di sana. Silakan kalau kamu nanti ingin menuntaskan hasratmu!”

Drupadi segera berlalu, sementara Kicaka masih terpesona oleh kalimat yang keluar dari bibir Drupadi. Kicaka bersiul riang. Ia amat girang.

~oOo~

“Kriiiiiiiiiiiinngggg” Hape Pak Dalang berbunyi. Ia menghentikan sementara pementasan wayangnya.

“Halo Pak Dalang, ini Sairandri nih,” terdengar suara merdu di balik telinga Pak Dalang.

“Ho-oh!” jawab Pak Dalang singkat.

“Skenario selanjutnya piye? Tolong slametin aku ya?” kata Sairandri kenes.

“Xixixi…. Bisa diatur. Wani pira?” kata Pak Dalang.

Sebelumnya dan Sesudahnya