Seni Membaca

Dalam liburan kali ini seorang ayah mengajak dua anak perempuannya mengunjungi toko buku di bilangan Jl. Sudirman Jogjakarta. Sejak dini ia memang mengajarkan kepada mereka untuk mencintai buku.

Ia berharap membaca tidak sekedar hobi belaka, tetapi menjadi suatu kebutuhan. Tempat wisata paling menyenangkan bagi mereka adalah toko buku.

Setelah mereka mendapatkan buku favorit masing-masing, sang ayah menawarkan kepada kedua anak gadisnya menikmati jus mangga di cafe depan toko buku tersebut. Tentu saja sambil membaca.

“Yah, ceritakan dong pengalaman ayah ketika SD dulu!” pinta anak sulungnya yang sudah kuliah semester empat di sebuah universitas di Kota Jogja.

“Cerita tentang apa?” tanya sang ayah.

“Tentang pelajaran membaca. Kenapa guru bahasa Indonesiaku senang banget menyuruh murid-murid membaca secara bergantian. Di zaman ayah sekolah dulu ada gitu nggak?” Si anak menjawab sekaligus bertanya lagi.

“Dulu, guru ayah sering minta murid-muridnya membaca di depan kelas. Ayah deg-degan menunggu giliran dipanggil. Waktu itu Ayah sering kesal kepada pak guru bahasa Indonesia, satu bab dibaca berulang-ulang bersama-sama teman sekelas. Ayah sampai hapal titik komanya. Kemudian pak guru minta kepada murid-muridnya menceritakan kembali apa yang dibaca tadi,” sang ayah memulai bercerita.

“Ayah bisa dong menceritakan kembali?” tanya anak kedua, ia baru saja menyelesaikan ujian nasional tingkat SMP.

“Lha, iya. Ternyata belakangan ayah baru mengerti faedah membaca yang berulang-ulang tadi. Pak guru bahasa Indonesia bukan hanya mengajari ayah membaca saja, tetapi juga seni membaca. Kamu tahu apa itu seni membaca?” Anak-anak diam menunggu kalimat berikutnya.

“Membaca bukan sekedar membaca, melainkan juga harus tahu artinya. Pak guru juga mengajari bagaimana membaca dalam hati, bagaimana membaca cepat, bagaimana agar murid-muridnya menjadi orang yang gemar membaca, bukan hanya bisa membaca!”

“Tapi aku nggak bisa membaca dalam hati kalau ada yang lagi berisik, bisa membuyarkan konsentrasi.” tukas anak kedua lagi.

“Ya.. itu wajar saja. Kamu mesti banyak melatih diri membaca dalam situasi seperti itu. Coba kamu lihat buku yang sedang kamu baca, ada berapa halaman?” tanya ayahnya.

Saat itu anak kedua sedang membaca buku karya Sindhunata yang berjudul Anak Bajang Menggiring Angin setebal 472 halaman.

“Kalau kamu nggak membiasakan diri membaca dalam hati, buku setebal itu akan kamu selesaikan dalam berapa minggu coba?” tanya ayahnya.

Mereka tenggelam dalam buku bacaan masing-masing hingga menjelang waktu asar.

Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei 2015, tanggalkan sejenak telepon pintar dari jemari tangan untuk membaca beberapa lembar buku.