Tabungan Haji

Percakapan antara dua sahabat di sebuah kafe.

 “Menurutku sih, mestinya kamu sudah ke Mekkah untuk ibadah haji. Hartamu banyak. Untuk ongkos naik haji kan cuma sepersekian persen dari tabunganmu, bukan?”

“Masalahku bukan di harta, Gusti Allah belum memanggilku aja, sih.”

“O iya? Bukankah Gusti Allah memanggil kita untuk ke rumahNya sejak Nabi Ibrahim dulu? Lalu rukun dan syaratnya haji disempurnakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Lah, bagaimana bisa kamu bilang belum dipanggil-panggil olehNya?”

“Iya sih. Tidak semua orang mempunyai tingkat pendegaran yang sama. Ada yang mendengar panggilan itu dan tak sedikit yang agak-agak budeg dan banyak yang tak mendengar sama sekali. Ada yang mendengar panggilanNya, eh tak punya ongkos untuk memenuhi panggilanNya itu.”

“Jangan salah. Jika Dia telah memanggil dan kita meresponNya, Dia akan bertanggungjawab memberi segala kemudahan untuk datang ke rumahNya. Banyak sekali kan, cerita-cerita tentang keajaiban tentang kemudahan orang pergi haji? Jangan sekali-sekali meremehkan Dia, karena Dia Maha Kaya. Jadi, kenapa sampai sekarang kamu belum mendaftar haji?”

“Eh, sebenarnya saya takut. Aku belum menjadi orang saleh. Masih banyak dosa yang aku perbuat. Bukankah di Mekkah nanti Gusti Allah akan membalas semua perbuatan tercela yang selama ini aku lakukan?”

“Mas, Mekkah itu bukan akherat, loh. Kota ini masih berada di bumi. Kalau kamu sadar masih banyak dosa mbok mulai dikurangi bikin dosanya.”

~oOo~

Naik haji bagi yang mampu. Pernyataan ini mestinya harus diterjemahkan secara lebih luas lagi. Mampu secara lahir dan batin. Mampu secara lahir belum tentu harus kaya dulu baru pergi haji. Mampu di sini mesti diartikan sebagai mampu merencanakan dan mengusahakan. Merencanakan dan mengusahakan sesuai kemampuan. Mampunya menabung seratus ribu sebulan, ya jangan dipaksakan lebih dari itu.

Tapi, beranikah hari ini kita membuka tabungan untuk ongkos naik haji?

Kalau berani? Biarkan nanti Gusti Allah yang mengisi tabungan haji itu.