Adipati Karna meletakkan cangkir yang berisi wedang jahe itu di meja. Setengahnya telah ia minum. Kembali ia duduk di sebelah Surtikanthi, dan memulai bercerita mengenai Adirata, bapak angkatnya.
“Tahukah kau, istriku. Betapa aku menaruh sangat hormat kepada bapak Adirata? Ya, ia yang mengasuhku sejak bayi hingga dewasa. Ia ingin anak angkatnya menjadi manusia yang berguna bagi sesama, untuk itulah ia mencarikan guru untuk mengasah kemampuan dan bakatku. Atas izinnya, aku juga sering berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menambah ilmu dan wawasanku hingga aku sampai di stadion Hastinapura dan menantang Arjuna.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah bapak Adirata menemuimu di stadion Hastinapura, mas?”
“Di situlah aku dihina habis-habisan oleh Pandawa, terutama oleh si Werkudara a.k.a Bima. Ia tertawa melecehkan posisiku sebagai anak kusir kereta. Ia bilang kalau aku tidak pantas bertanding dan mati di tangan Arjuna. Aku sangat marah mendengar ejekan Bima. Rasanya aku ingin menempeleng adikku itu, tetapi Duryudana keburu menahan tanganku. Duryudana membelaku dengan berkata kepada Bima bahwa hakikat ksatria adalah keberaniannya, bukan dari mana asal-usulnya. Duryudana segera membawaku ke istananya!”
“Jadi, pertempuranmu dengan Arjuna batal ya mas?
“Iya. Sejak saat itu aku sangat dekat dengan keluarga besar Kurawa.”
“Dan….”
“Dan… apa sayang?”
“Kita berkenalan….”
“Iya… lagi-lagi jasa si Duryudana. Ia comblang kita”.
Surtikanthi memeluk Karna, pikirannya menerawang membayangkan awal perjumpaannya dengan Karna.
Semenjak Karna sering berkunjung ke istana Duryudana, Surtikanthi suka mencuri pandang ke arah Karna. Suatu ketika mata keduanya saling beradu. Saling mengagumi satu dengan lainnya. Ada rasa gengsi untuk memperkenalkan diri, meskipun diam-diam Karna mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Surtikanthi. Demikian pula dengan Surtikanthi, ia sering bertanya kepada Duryudana – adik iparnya, siapa itu Karna, kenapa sudah lama Karna tidak berkunjung ke Hastinapura dan seterusnya.
Melihat gelagat itu, Duryudana pun memperkenalkan keduanya di suatu acara makan siang. Karna dan Surtikanthi bertukar nomor ponsel, dan sejak saat itu mereka menjadi boros pulsa, karena satu jam sekali mereka saling memberi kabar, saling mengucapkan cinta dan rindu. Ya, mereka mempunyai rindu yang tidak ada habis-habisnya.
Perkawinan Karna – Raja Awangga dengan Surtikanthi – salah satu sekar kedaton Hastinapura diselenggarakan dengan sangat meriah. Dewa-dewi dari kahyangan meluapkan kegembiraan dan mengobral restu kepada sepasang pengantin itu.
Mengenang itu semua, hati Surtikanthi menjadi demikian bersedih, sebab esok Karna akan menunaikan takdirnya berperang dengan Arjuna di Padang Kurusetra.
Malam ini aku bisa menggoreskan
baris-baris tersedih.
Menuliskan, seperti, “Malam telah hancur
dan bintang-bintang biru berpendaran di kejauhan.”
Angin bertiup berputar-putar di langit
dan bernyanyi.
Malam ini aku bisa menorehkan
baris-baris paling sedih.
Aku mencintainya,
dan terkadang dia begitu juga.
Lewat malam-malam seperti inilah,
kupeluk dirinya.
Kuciumi dia, lagi dan lagi,
di bawah langit tak bertepi.
Dia mencintaiku,
kadang-kadang aku pun begitu.
Bagaimana mungkin orang yang tak mencintai
matanya yang indah dan begitu tenang?
Malam ini, aku bisa tuliskan baris-baris tersedih.
Berpikir bahwa aku tak memilikinya.
Merasakan bahwa aku telah kehilangannya.
Mendengarkan malam yang tak bertepi,
lebih tak bertepi lagi tanpa dia.
Dan syair jatuh ke dalam jiwa
laksana embun jatuh ke huma.
Mengapa mesti jadi soal,
bila cintaku tak bisa menjaganya.
Malam telah hancur dan dia tak bersamaku.
Sudahlah.
Di kejauhan seseorang tengah bersenandung.
Di kejauhan.
Jiwaku tak mau mengerti
bahwa aku telah kehilangannya.
Baris-Baris Tersedih – Pablo Neruda