Pertemuan rahasia Senapati dan Nyai Ratu Kidul

Suara Nyi Suprapti – pesinden asal Sragen, terdengar bening ketika melagukan Tembang Asmaradana ini:

  1. Wana Kahyangan kang nami, inggih saprikirina, ing riku Senapatine, tapa ing sangandhahira, angeningaken sagung cipta, ingkang wasta sela payung, awit saking genging kaparanan.
  2. Wonten riku ngantos lami, saged jumpuh penggalihnya, papanipun kenging kangge, ameleng nancepken cipta, cipta wening sanyata, amargi ing ngriku samun, midid kanang samirana.
  3. Sajroning semadi hening, sangandhaping payung sela, sring ngenggar-enggar, aneng kedhung banjur siram, sangisoring grojogan, madhep ngarsaning Hyang Agung, wonten nginggiling sela gilang.
  4. Sru tapane Senapati, kadenangan dening liyan, mring saweneh janma kiye, wong wadon ing padhukuhan, nggih ing sacelakira, kang arane Nyai Puju, tukang golek sagung lata.
  5. Kasade pecel wus dadi, iku ing saben arinya, sumurup satriya baguse, gung kapranah jroning driya, maring sang Panembahan, ing semu banget kapencut, mila tansah sesingidan.
  6. Sinapa mring Senapati nuli samya wawan sabda, Nyai Puju salajenge, saged nglalekake wisma, umun umun budhalipun, mantuk sonten tekeng dalu, mekaten sepolahira.
  7. Nuju sawijining dina, ing kono sang Panembahan, sinusul mring kang garwane Ratu Kidul Sang Dyah Retna, nulya samya ngenggar-enggar, nginggil sela gilangipun, ugi nulya siram.
  8. Sasampunipun siram sami, lenggah sela pesaladan, Panembahan ngasta tasbeh, kang tasbeh arupi sela, kawastanan lirang bang, akik estha tasbehipun, tansah amunggweng ing asta. 
  9. Nunggil wekdal wahu ugi, Nyai Puju harsa marak, ing ngarsa Senapatine, sumerep bilih kang garwa, ingkal sumusul prapta, Nyai Puju cengkelak wangsul, nasak wana ing lampahnya.
  10. Dipun lestantun maksih, Nyai Puju ing ulihnya, diajeg ing wayah sore, kocap wahu ing kahyangan, yata sang Panembahan, kaliyan Jeng Ratu Kidul, datan kocap ing laminya.
  11. Sajroning sang Senapati, tansah ameleng kang cipta, neng ngisor sela payunge, wus pikantuk ingkan weca, yata ing benjingira, neng Mataram dadi Ratu, mung jejuluk Panembahan.
  12. Kocap Nyai Puju maksih, saben dina aneng wana, lakune diajegake, mangkat subuh mulih ngasar, mula wus panggaotan, nanging wahu Kyai Puju, tuwuh pikire sujanan.
  13. Dakwa tindake kang estri, mesthi sedheng ing lampahnya, mula arsa lunga nginte, sapungkure bojonira, Ki Puju mlebu wana, banjur nelik srana sesamun, ngulatake jroning wana.
  14. Durung nganti bisa panggih, kalawan sisihanira, ing dhuwur sela gilange meruhi ingkang kahanan, ana putri ayu endah, sinandhing satriya bagus, carem andon ing asmara.
  15. Wauta Jeng Ratu nolih, amirsani ing pangkeran, anjumbul banget kagete, dene ana janma lanang, cumondhok aneng wana, nulya jengkar klawan bendu, “wela teka kamanungsan.” 
  16. Nulya angajak kondur aglis, sarwi narik ing tasbehnya, Senapati ing astane, tasbeh pedhot wus sumebar, dhawah kedhung pasiraman, semana anulya kondur, ninggalake sela gilang.

Kalau ditafsirkan secara bebas, isi Tembang Asmaradana di atas kira-kira seperti ini:

Pada suatu hari, Panembahan Senapati ingin melakukan tapa-brata di hutan yang menjadi sumber mata air sungai Bengawan Solo. Hutan itu sebut saja hutan Kahyangan. Ia bertapa dengan mengheningkan cipta duduk di atas batu yang dinamakan batu payung karena kenyamanannya duduk di batu itu. Cukup lama Panembahan Senapati dalam bertapa. Di tempat itu ia bisa menyatukan rasa dan pikirannya, karena adanya angin yang mengalir dengan lembut di tempat ia bertapa.

Batu yang menyerupai payung itu telah melindungi Panembahan Senapati dalam semedinya. Dalam tarikan nafasnya ia melepaskan semua gundah-gulana di hatinya. Saat rehat dalam tapanya, ia akan mandi di anak sungai Bengawan Solo di bawah air terjun, berada di atas batu yang dinamakan batu gilang sambil tetap berdoa kepada Gusti Allah Yang Agung. Begitulah rutinitas Senapati dalam pertapaannya.

Arkian, tanpa diketahui oleh Senapati ada seorang perempuan yang bernama Nyai Puju yang suka mengintip Senapati bertapa dan mandi. Perempuan itu berasal dari desa di pinggiran hutan Kahyangan yang sehari-hari mencari hasil hutan, selepas menjual pecelnya berkeliling desa. Hampir saban hari, ia melewati tempat pertapaan Senapati. Dengan berjalan mengendap-endap ia mengintip Senapati. Dari tempat persembunyiannya, ia menatap wajah tampan sang Panembahan dan diam-diam ia jatuh cinta kepada Senapati. Perempuan itu telah kasmaran dan rasa rindunya hanya bisa ia lampiaskan dengan cara mengintip Senapati dari tempat yang dirasa aman.

Suatu ketika, sang Panembahan sadar kalau sedang diamati oleh seseorang. Ia pun segera beranjak dari tempatnya bertapa dan menghampiri Nyai Puju. Senapati menyapa Nyai Puju. Mereka pun saling berkomunikasi. O, rasa kasmaran Nyai Puju makin meluap-lupa saja. Ia mulai melupakan rumah tangganya. Pagi-pagi sekali ia berangkat keluar rumah, lalu pulang ketika hari menjadi sore bahkan sampai malam. Itulah yang dilakukan Nyai Puju setiap hari.

Suatu hari, Panembahan Senapati disusul oleh istrinya yang berasal dari dunia gaib, Ratu Kidul Sang Dyah Retna. Lama tidak berjumpa, mereka pun saling melepas rindu dengan olah asmara yang dilakukan di atas batu gilang. Setelah semua rasa tertumpah, mereka mandi bersama di bawah air terjun.

Selesai mandi, Panembahan Senapati duduk di atas batu yang biasa ia gunakan untuk shalat. Ia membawa tasbih yang dibuat dari batu, yang dinamakan lirang abang. Tasbih itu selalu dibawa di tangannya.

Nun, dari tempat persembunyiannya Nyai Puju memendam bara cemburu di hatinya. Ia menyaksikan semua yang dilakukan oleh Senapati dan Ratu Kidul. Ia tidak jadi menghampiri Senapati. Hatinya yang remuk redam dibawanya pulang ke rumah, dengan menerobos hutan belantara. Ia tak peduli kakinya luka oleh onak dan duri. Piye, wong namanya cemburu, je!

Selepas kepulangan Nyai Puju, pertemuan Senapati dan Nyai Ratu Kidul masih tetap berlangsung hingga malam tiba. Hmm, nekjika Nyai Puju tahu apa yang dilakukan oleh keduanya, bisa-bisa Nyai Puju mengambil jalan pintas. Bunuh diri gara-gara cemburu berat.

Malam harinya, Senapati melanjutkan bertapanya. Di bawah batu payung ia mengheningkan cipta, menyatukan karsa dan rasa. Ia pun akhirnya mendapatkan wangsit kalau di mana mendatang ia akan menjadi Raja di Mataram dengan julukan Panembahan.

Meskipun hatinya selalu diliputi cemburu, Nyai Puju masih melanjutkan kebiasannya. Pergi pagi pulang petang, tak lupa untuk sekedar mengintip Senapati, sang pujaan hatinya. Rupanya, tingkah laku Nyai Puju ini telah membuat gundah suaminya, Ki Puju. Gundah yang didasari oleh rasa curiga kepada istrinya. Jangan-jangan istrinya itu berlaku selingkuh. Untuk memastikan rasa curiganya, Ki Puju mengikuti kepergian istrinya secara diam-diam dan menyamar.

O, Ki Puju kehilangan jejak istrinya. Ia was-was belum menemukan istrinya ada di mana. Di depannya ia melihat ada jalan setapak, ia pun mengikuti jalan itu yang ternyata menuju tempat di mana istrinya sering mengintip Senapati bertapa. Ki Puju berjalan mengendap-endap untuk berhati-hati supaya tidak ada orang yang memergokinya. Pelan-pelan ia sibak tanaman rimbun di ujung jalan setapak dan betapa terperangahnya ia ketika menyaksikan sepasang manusia sedang bermesraan di atas batu gilang. Seorang ksatria tampan dan seorang putri jelita.

Ki Puju mencoba menahan nafas, tapi terlambat. Ratu Kidul tanpa sengaja menengok ke arahnya dan sang Ratu sangat terkejut. Ia buru-buru merapikan pakaiannya, kemudian dengan nada marah ia berkata, “Kok di hutan sini ada manusia sih?

Wajah Ratu Kidul yang merah padam segera menyambar tangan Senapati untuk mengajaknya meninggalkan tempat itu. Ketika menarik tangan Senapati, jemari Ratu Kidul menyangkut di tasbih lirang abang. Tali tasbih putus, batu-batu tasbih berhamburan jatuh ke tempat pemandian Senapati. Mereka pun meninggalkan batu gilang.

~oOo~

“Ki, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nyai Puju.

Ki Puju terkejut, tiba-tiba istrinya ada di belakang tempat ia berdiri.

“Eh, anu… itu… eh… ada.. itu…”, jawab Ki Puju sambil menunjuk ke arah batu gilang.

“Kamu pengin?” rajuk Nyai Puju dengan kenesnya.

Ia pun menarik tangan suaminya dan membawanya ke arah batu gilang.

“Mau ngapain kita di sini, Nyai?” kata Ki Puju berlagak pilon.

Ngumpulin biji tasbih dong….!” tukas Nyai Puju sambil mengedipkan matanya.