Karawang dan Kanjeng Sultan Agung

Tempayan Air Kyai Danumaya di Kompleks Makam Imogiri

Kyai SX4 terparkir sudah. Saya ingin ziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri melalui tangga, bukan seperti tahun lalu melewati jalan setapak tetapi mobil bisa diparkir di sebuah kebun di samping areal makam. Dari anak tangga paling bawah, saya menatap puncak tangga. Wow, banyak sekali. Konon tiap orang akan berbeda dalam hitungan anak tangga. Tapi angkanya berkisar 400-an anak tangga.

Perbedaan menghitung jumlah anak tangga, bisa jadi karena faktor ngos-ngosan sehingga tidak bisa konsentrasi lagi dalam hitungan. Pun dengan saya. Pada tangga ke 230-an, kaki-kaki saya gemetaran. Rasanya mau pingsan. Dan benar saja, tak lama kemudian saya semaput, tak sadarkan diri.

~oOo~

“Minumlah ramuan ini, Kisanak!” Suara seseorang menyadarkan saya. Ia menyodorkan secangkir ramuan yang terseduh dalam air panas. Cangkir yang terbuat dari tanah liat itu saya terima. Tetapi, betapa terkejutnya saya ketika menatap sosoknya. Oh, di mana saya? Di masa tahun berapa saya ini?

“Namaku Sultan Agung. Minumlah wedang uwuh1 ini. Tubuh Kisanak akan segar kembali,” kata orang yang mengaku Raja Mataram itu.

“Terima kasih, Kanjeng Sultan,” jawab saya, lalu pelan-pelan saya teguk minuman sampah itu. Dan benar saja, tak lama tubuh saya terasa segar kembali.

“Kalau tidak salah, Kisanak berasal dari tlatah Karawang ya?” tanya Sultan.

Inggih, leres, benar Kanjeng. Saya memang dari Karawang. Ke Imogiri mengisi liburan,” papar saya singkat.

Sultan Agung duduk di sebelah saya. Tentu saja saya kikuk, seorang raja besar kok sudi duduk di batu bersebelahan dengan saya di bawah pohon talok ini.

“Begini Kisanak. Beberapa waktu yang lalu, aku mengirimkan bala tentara Mataram melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia. Tetapi serangan itu gagal total karena medan tempur yang sangat berat, dan bebarengan dengan berjangkitnya malaria. Ditambah parah dengan kekurangan persediaan makanan bagi para prajurit Mataram. Saat itu pasukan Mataram dipimpin oleh Aria Wirasaba,” Sultan Agung memulai kisahnya.

Saya takjub. Sejarah Karawang yang selama ini saya baca dari literatur yang sangat terbatas, kali ini saya bertemu langsung dengan pelaku utamanya, Kanjeng Sultan Agung Raja Mataram yang kata orang setiap jumat pergi ke Mekah untuk shalat jumat.

“Dari kegagalan penyerangan itu, aku menetapkan wilayah Karawang sebagai pusat logistik tentara Mataram. Nah, karena itu Karawang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada di bawah pengawasan Mataram. Kisanak tahu kan, aku memilih pimpinan yang cakap dan ahli perang. Ia juga harus mampu menggerakkan masyarakat membangun areal persawahan untuk mendukung pengadaan logistik, terutama beras agar rencana penyerangan terhadap VOC di Batavia dapat kembali dilakukan,” kata Sultan Agung sambil menuangkan wedang uwuh ke dalam cangkirnya.

Ya, sejarah kemudian mencatat bahwa pada tahun 1632, Kanjeng Sultan Agung mengutus Wiraperbangsa dari Kerajaan Galuh membawa seribu prajurit dan keluarganya menuju Karawang. Selain untuk menyerang kembali VOC di Batavia, tentara yang dipimpin oleh Wiraperbangsa ini untuk membebaskan Karawang dari pengaruh Banten. Tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh Wiraperbangsa.

“Lalu, aku pun menganugerahi Wiraperbangsa sebuah jabatan Wedana di Karawang dengan gelar Adipati Kertabumi III. Wedana itu setingkat Bupati-lah,” tukas Sultan Agung.

“Pelantikan dilakukan di mana, Kanjeng?” tanya saya memberanikan diri.

“Pelantikan itu dilakukan di Mataram sini. Wiraperbangsa malah aku kasih hadiah berupa sebilah keris yang bernama Karosinjang,” jawab Sultan Agung.

Syahdan, Wiraperbangsa segera kembali ke Karawang setelah pelantikannya. Sebelum kembali ke Karawang, ia singgah dulu ke Galuh, untuk menjenguk keluarganya. Namun, ia meninggal di Galuh. Jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa bergelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677.

“Kanjeng, lalu bagaimana nasib Raden Aria Wirasaba selanjutnya?” tanya saya, antara takut dan ragu.

“Itulah yang ingin aku sampaikan pada Kisanak. Mumpung sekarang Kisanak tinggal di Karawang tolong cari informasi sebanyak-banyaknya tentang Aria Wirasaba itu. Oke?” pinta Kanjeng Sultan, serius.

Saya mengerutkan dahi. Saya bukan sejarawan, apa mampu saya telusuri kisah tentang perjuangan Aria Wirasaba di wilayah Karawang? Ya, menurut Piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede yang ditulis oleh Sultan Agung, pelantikan Singaperbangsa dan Aria Wirasaba sebagai Adipati dilakukan bersamaan yang masing-masing berkedudukan di Tanjungpura dan Waringinpitu. Satu dan lainnya, sejajar, tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Setahu saya, Aria Wirasaba sama sekali tidak masuk catatan administratif Pemerintah Kabupaten Karawang.

“Kanjeng Sultan masih menyimpan fotokopi Piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede?” tanya saya lagi.

“Fotokopi itu apa, Kisanak?” Sultan bertanya balik. O, ini di abad 17. Mesin fotokopi tentu saja belum tercipta.

“Hmm… maksud saya salinannya, Kanjeng,” kata saya.

“Aku masih ingat kalimatnya… ,” Sultan Agung kemudian mengatakan kalimat dalam Piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede.

Panget Ingkang piagem kanjeng ing Ki Rangga gede ing Sumedang kagadehaken ing Si astrawardana. Mulane sun gadehi piagem, Sun Kongkon anggraksa kagengan dalem siti nagara agung, kilen wates Cipamingkis, wetan wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isine pun pari limang takes punjul tiga welas jait. Wodening pari sinambut dening Ki Singaperbangsa, basakalatan anggrawahani piagem, lagi lampahipun kiayi yudhabangsa kaping kalih Ki Wangsa Taruna, ingkang potusan kanjeng dalem ambakta tata titi yang kalih ewu; dipunwadanahaken ing manira, Sasangpun katampi dipunprenaharen ing Waringipitu ian ing Tanjungpura, Anggraksa siti gung bongas kilen, Kala nulis piagem ing dina rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun alif. Kang anulis piagemmanira anggaprana titi2

Setelah membacakan Piagam Pelat Kuning tersebut, sosok Sultan Agung menghilang dari hadapan saya. Kini, hanya kesunyian yang saya rasakan. Saya masih terduduk di bawah pohon talok, tak ada siapa-siapa, tak ada secangkir wedang uwuh. Deleg-deleg, kaki masih dengkelan.

O, pantes saja. Saya berhalusinasi di hari Rebo Kliwon.

~<)oOo(>~

1. Wedang uwuh adalah sejenis minuman yang terbuat dari racikan rempah-rempah, merupakan minuman khas daerah Imogiri, Yogyakarta. Resep minuman ini ditemukan secara tidak sengaja oleh abdi dalem Sultan Agung. Konon sekitar tahun 1630-an, Sultan Agung berniat membangun makam raja-raja Mataram yang terletak di puncak sebuah dataran tinggi yang subur. Pada suatu malam Sultan Agung memerintahkan seorang abdi dalemnya untuk membuatkan minuman untuk menghangatkan tubuhnya dari hawa Bukit Merak yang dingin. Abdi dalem tersebut kemudian membuatkan wedang secang. Setelah selesai meracik, ia menyajikan wedang secang tersebut di atas meja kecil yang letaknya di bawah pepohonan rimbun, kemudian pergi ke belakang karena tidak ingin mengganggu semedi tuannya. Angin yang bertiup kencang pada malam itu, beberapa daun kering  jatuh ke dalam cangkir wedang secang tersebut.  Karena gelapnya malam,  Sultan Agung tidak memperhatikan bahwa wedang secangnya telah tercampur oleh uwuh/sampah kering pepohonan. Keesokan harinya, Sultan Agung mendatangi abdi dalem dan mengatakan kalau wedang secang semalam terasa lebih enak dari wedang secang yang biasanya. Sultan Agung kemudian minta dibuatkan minuman seperti minuman yang tadi malam untuk malam-malam berikutnya. Meskipun kebingungan, para abdi dalem itu mengiyakan permintaan Sultan Agung tanpa berani bersuara sedikitpun karena takut kesalahan. Kejadian berulang, wedang secang tercampur daun kering. Belakangan, para abdi dalem menyingkap rasanya nikmatnya wedang uwuh ini.
2. Terjemahan: Peringatan piagam raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana. Sebabnya maka saya serahi piagam ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah negara agung milik raja. Di sebelah Barat berbatas Cipamingkis, di sebelah Timur berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes lebih tiga belas jahit. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa. Basakalatan yang menyaksikan piagam dan lagi Kyai Yudhabangsa bersama Ki Wangsataruna yang diutus oleh raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga. Pimpinannya adalah Kiyai Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam diterima kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah negara agung di sebelah Barat. Piagam ini ditulis pada hari Rabu tanggal 10 bulan mulud tahun alif. Yang menulis piagam ini ialah Anggaprana, selesai. Tanggal yang tercantum dalam Piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Karawang  yaitu 10 Rabi’ul awal 1043 H, atawa tanggal 14 September 1633 M atawa Rabu tanggal 10 Mulud 1555 Saka.