Din

Tokoh kita ini bernama Nazarudin Nasrudin Hoja,  seorang sufi yang pernah hidup di kawasan Turki pada masa kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol. Pada waktu kecil, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik perhatian teman-temannya, sehingga ia dan teman-temannya sering melalaikan pelajaran sekolah. Seorang guru yang bijak pun bernubuwat: “Kelak, ketika kamu sudah dewasa, kamu akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu.” Ya, Nasrudin Hoja adalah tokoh kocak pada kisah-kisah sufistik yang terkenal di seluruh dunia, terutama di negara-negara berpenduduk Muslim. Meskipun demikian, tak ada seorang pun yang mengetahui secara persis siapa Nasrudin Hoja, di mana ia tinggal atawa di tahun berapa ia hidup. Nasrudin digambarkan sebagai sosok yang tidak bisa ditempeli satu macam karakter tertentu. Setiap kisah selalu menampilakannya dalam kondisi yang berbeda-beda sebagai sosok yang multikarakter dan seakan tidak berzaman. Di Indonesia, kemasyhuran Nasrudin Hoja hampir tidak kalah dengan Abu Nawas. Kedua tokoh ini mempunyai kesamaan, yaitu digambarkan memiliki kecerdikan da rasa humor yang tinggi, juga mengandung kritik sosial yang sangat pas pada segala zaman. Berikut salah satu contohnya:

Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata, “Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.”

Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin.

“Demikianlah,” kata Nasrudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.”

Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca?”

Nasrudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.”

“Tapi,” tukas Timur Lenk tidak puas, “Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?”

Nasrudin menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca, hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, berati kita setolol keledai, bukan?”

~oOo~

Din, kapan pulang ke Indonesia? Cuti Pelarianmu dibayar oleh keringat rakyat, tau!