Yuyu Kangkang

Prolog.

Karena sesuatu hal, yang kalau diceritakan bisa semalaman, Dewi Galuh Candrakirana a.k.a Sekartaji harus dipisahkan dengan kekasihnya, Raden Panji Asmarabangun. Putri Kerajaan Kediri itu harus menjalani ujian hidup dengan cara terlunta-lunta terlebih dahulu. Hal yang sama terjadi pula kepada Raden Panji Asmarabangun.

~oOo~

Syahdan, di sebuah pedukuhan di lereng gunung Arjuna hiduplah keluarga yang cukup berada, seorang ibu bersama ketiga anak perempuannya. Bukan anak kandung, tapi tiada yang tahu dari mana ibu itu memungut mereka. Ibu itu, sebut saja Sri Pertiwi, memberikan nama kepada anak-anaknya: yang sulung Kleting Abang, berbadan gemuk, jarang tersenyum, suka marah, suka menangis. Si tengah Kleting Kuning, agak kurus, cerewet, suka memaksakan kehendak, sangat manja kepada ibu angkatnya. Sedangkan si bungsu Kleting Ijo, meskipun kurus tetapi makannya banyak, dan ia paling malas di antara ketiganya.

Suatu hari datanglah Sekartaji ke rumah Sri Pertiwi dengan maksud untuk ikut ngèngèr, menumpang hidup. Tentu saja dengan senang hati Sri Pertiwi dan anak-anaknya menerima kehadiran Sekartaji di rumah itu sebagai abdi dalem, pembantu rumah tangga. Meskipun derajatnya sebagai abdi dalem, Sri Pertiwi memberikan nama seperti anaknya yang lain. Sejak saat itu nama Sekartaji berubah menjadi Kleting Biru.

Bisa diduga sebelumnya, kehidupan Kleting Biru sangat berat. Ia harus melayani semua kebutuhan penghuni rumah sejak bangun hingga mereka tidur kembali. Tetapi semua itu dijalani Kleting Biru dengan hati yang sumarah, ikhlas, karena hal ini bagian dari lakon yang harus dijalani sebelum bertemu dengan kekasihnya.

Tanpa terasa sebulan sudah Sekartaji mengabdi kepada keluarga Sri Pertiwi. Paras putri keraton hilang sudah. Dan itu malah menguntungkan Sekartaji dalam penyamarannya.

Pulang dari pasar, ibu membawa kabar ada seorang pemuda tampan dari kampung seberang sungai sedang mencari istri. Sudah belasan gadis yang ditolak oleh pemuda itu, dengan berbagai alasan. Dengan bersemangat Sri Pertiwi meminta anak-anaknya supaya ikut unggah-unggahi, melamar sang pemuda tampan. Ya, pemuda tampan itu bermana Andhe-Andhe Lumut.

Satu-satunya jalan untuk sampai di kampung Andhe-Andhe Lumut harus menyeberang sungai yang cukup dalam dan lebar. Cara yang digunakan sungai oleh penduduk kampung untuk menyeberang adalah naik rakit penyeberangan milik pemuda brangasan yang bernama Yuyu Kangkang, semua orang takut kepadanya sehingga meskipun upah menyeberang cukup mahal orang-orang tetap membayar kepadanya.

Dasar preman kampung yang thukmis, playboy, matanya langsung melotot begitu melihat tiga Kleting menghampirinya untuk minta tolong diseberangkan ke kampung sebelah.

“Sayang sekali, rakitku rusak Nyai-nyai yang cantik. Tapi aku masih bisa menyeberangkan kalian… asal… “ Mata Yuyu Kangkang jelalatan menyapu tubuh para Kleting.

“Asal apa kakang?” kata Kleting Kuning kenes, genit.

“Mau minta upah apa, pasti kami berikan”, sahut Kleting Ijo.

“Aku akan menggendong kalian satu-satu ke arah seberang sungai. Lalu, upah yang kuminta gampang saja, aku akan mengecup pipi kalian ha..ha…!” kata Yuyu Kangkang jumawa.

Terjadi kesepakatan. Para Kleting diseberangkan dengan cara digendong oleh Yuyu Kangkang. Kejahilan yang dilakukan oleh Yuyu Kangkang di tengah sungai hanya dia dan para Kleting yang tahu. Selebihnya, Yuyu Kangkang mendaratkan kecupan ke pipi para Kleting. Yuyu Kangkang senang bukan main.

Ketika ia kembali ke tempatnya semula, ia mendapati Kleting Biru telah menunggunya, untuk diseberangkan pula. Tapi Yuyu Kangkang menolak, siapa yang mau menyeberangkan abdi dalem seperti itu. Akhirnya, dengan keberanian yang dimilikinya, Kleting Biru berhasil menyeberangi sungai yang dalam dan lebar itu.

Di rumah Andhe-Andhe Lumut.

Ia duduk bersila di atas kursi yang terdapat di tengah ruang pendapa. Memang sudah menjadi kebiasaan Andhe-Andhe Lumut melakukan laku semedi seperti itu. Sementara itu simboknya sibuk nganam, menganyam tikar mendong di dekat pintu.

Ketika kedatangan ketiga Kleting, simbok menghentikan kegiatan nganam dan menanyakan maksud kedatangan mereka bertiga. Setelah tahu maksud ketiga Kleting, simbok pun mendendangkan sebuah tembang kepada Andhe-Andhe Lumut :

Putraku, si Andhe-Andhe Lumut
Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi
Putrinya sing ayu rupane
Kleting Abang iku sing dadi asmane

[Putraku, si Andhe-Andhe Lumut/turunlah ada putri yang melamarmu/putri yang cantik rupawan/yang bernama si Kleting Abang]

Kemudian terdengar jawaban Andhe-Andhe Lumut

Duh, ibu kula dereng purun
Oh ibu, kula mboten mudhun
Nadyan ayu sisane si Yuyu Kangkang

[Duh, ibu aku belum mau/oh ibu, aku tidak (akan) turun/meskipun cantik (tetapi) bekasnya si Yuyu Kangkang]

Simbok mengulang tawarannya untuk Kleting Kuning dan Kleting Ijo. Jawaban Andhe-Andhe Lumut sama saja, tidak berubah. Ia tetap duduk bersila, masih memejamkan mata. Tiba giliran Kleting Biru, kembali simbok berdendang lagu yang sama, namun berubah syairnya :

Putraku, si Andhe-Andhe Lumut
Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi
Putrinya sing ala rupane
Kleting Biru iku sing dadi asmane

[Putraku, si Andhe-Andhe Lumut/turunlah ada putri yang melamarmu/putri yang buruk rupa/yang bernama si Kleting Biru]

Andhe-Andhe Lumut pun membuka mata. Ia menghentikan semedinya. Ia turun dari kursi menghampiri Kleting Biru :

Duh, ibu kula inggih purun
Oh ibu, kula badhe mudhun
Nadyan ala punika kang putra suwun

[Duh, ibu aku mau/oh ibu, aku akan turun/meskipun buruk rupa ia yang aku pinta]

Dan memang, cinta sejati Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmarabangun itu akhirnya bertemu dan bersatu kembali. Ya, Andhe-Andhe Lumut itu tak lain adalah Raden Inu Kertapati alias Panji Asmarabangun.

Note: Judul dan alur cerita oleh Roy