Yudhistira menjawab pertanyaan (2)

Lanjutan dari kisah sebelumnya.

Bima gelisah, ketiga adiknya belum juga kembali. Yudhistira tidak kalah galau hatinya. Dengan meminta izin kepada kakaknya, Bima menyusul ke telaga.

Bagai disengat kalajengking paling berbisa, Bima terkejut menyaksikan ketiga tubuh adiknya tergeletak di tepian telaga. Ia hunus kuku Pancanaka yang menjadi pusaka andalannya. Suaranya menggelegar ketika ia menumpahkan amarahnya. Hanya gaung suaranya saja yang terdengar, saat ia berteriak menantang seseorang yang telah membunuh adik-adiknya agar segera muncul di hadapannya.

Ia semakin sebal hati karena tak ada yang menjawab tantangannya. Kerasnya suara yang keluar dari mulutnya membuat ia semakin kehausan. Tanpa pikir panjang segera ia menuju tepi telaga untuk mengambil air. Namun, ia dicegah oleh sebuah suara, “Bima yang perkasa, jangan kau minum air telaga itu sebelum kau jawab pertanyaanku!”

Bima cuek. Seteguk air telah membasahi tenggorokannya. Seperti ketiga saudaranya, ia pingsan setelah meneguk air telaga.

~oOo~

Rupanya suara Bima yang menggelar tadi membuat Yudhistira bergegas menyusul Bima. Namun ia terlambat mencegah adiknya meminum air telaga, karena Bima sudah kadung memasukkan air ke dalam mulutnya.

“Wahai pemilik suara, siapa dirimu? Kenapa engkau membunuh adik-adikku?”

“Ha…ha… Yudhistira yang kalem akhirnya kau datang juga ke tempat ini. Lihatlah adik-adikmu. Mereka tidak tewas, hanya semaput saja. Aku sudah bilang, jawab dulu pertanyaanku sebelum meminum air telagaku.”

“Apa pertanyaanmu? Aku akan menjawabnya!”

“Nah, begitu dong. Apa sih susahnya bilang begitu. Begini Yudhis, kau tahu apa itu kebijaksanaan?”

“Kebijaksanaan tidak lagi merupakan kebijaksanaan apabila ia menjadi terlalu angkuh untuk menangis, terlalu serius untuk tertawa, dan terlalu egois untuk melihat yang lain kecuali dirinya sendiri.”1

“Kalau kebencian?”

“Kebencian adalah cinta yang terluka. ia tidak akan berhenti dengan perantara kebencian karena kebencian hanya berhenti dengan perantara cinta. Ini hukum yang tidak bisa diubah. Kebencian merupakan kemarahan yang sudah mendarah daging, maka membenci orang itu seperti membakar rumah sendiri demi mengusir tikus. Tegasnya, kebencian hanya bisa diatasi dengan cinta.2

“Hmm… apik tenan jawabanmu. Kalau kepercayaan, menurutmu bagaimana?”

“Kepercayaan adalah barang yang sangat mahal harganya. Ia tidak bisa diminta, namun diberikan. Karena mahal harganya tadi, kita mesti menjaga kepercayaan itu sebaik-baiknya. Kepercayaan merupakan keadaan di mana seseorang itu merasa nyaman, menaruh hati sepenuhnya terhadap seseorang.”

Good…good… sekarang lihatlah keempat adikmu yang tergeletak di pinggir telaga. Nekjika kau diminta memilih di antara keempatnya, mana yang akan kau pilih supaya ia tetap hidup?”

“Aku akan memilih Sadewa!”

“Kenapa bukan Bima atawa Arjuna yang keduanya sakti mandraguna? Bukankah keduanya akan membantumu mengambil kembali kerajaan yang kini dikuasai oleh Kurawa?”

“Tidak, aku tak akan memilih Bima atawa Arjuna. Mereka berdua saudara sekandung denganku di dalam rahim Ibu Kunti. Sengaja aku memilih Sadewa, karena ia anak Ibu Madrim. Jika aku memilih Bima atawa Arjuna, tak ada lagi orang yang menurunkan silsilah dari Ibu Madrim.”3

“Baiklah, aku puas dengan jawaban-jawabanmu. Kini minumlah air telagaku. Semua adikmu akan siuman kembali!”

Maka, Yudhistira melepaskan dahaganya. Ia mengambil air telaga dan mengusapkan ke wajah adik-adiknya. Rupanya dengan meminum air telaga itu, para dewa memberikan kekuatan kepada Pandawa yang sebentar lagi lepas dari masa pembuangan dan berjuang merebut kembali istana yang telah dikuasai oleh Duryodana dan adik-adiknya.

Tancep kayon!

Catatan kaki:
1Mengutip punya Kahlil Jibran
2Kebencian hanya bisa diatasi dengan cinta, dari Mahatma Gandhi
3Pandu mempunyai dua istri yakni Kunti (ibu dari Yudhistira, Bima dan Arjuna) dan Madrim (ibu dari Nakula dan Sadewa)