Watu Gilang, singgasana Panembahan Senapati

Pemanahan dan Sutawijaya membabat Alas Mentaok. Setelah Alas Mentaok terbuka untuk pendatang dan menjadi sebuah kerajaan kecil, Sutawijaya mulai membangkang kepada perintah Sultan Pajang. Terjadi peperangan, yang mengakibatkan kekalahan Pajang. Raden Benowo menggantikan Hadiwijaya, namun pamor Pajang makin surut. Sutawijaya memproklamirkan kerajaan baru yang bernama Mataram, sementara namanya diubah menjadi Panembahan Senapati.

Kyaine dalam Sutawijaya diusir dari Pajang

Alas Mentaok kini menjadi sebuah wilayah yang sangat ramai, dengan nama Kotagede. Tetirah ke Kotagede juga untuk menderas Sejarah Nusantara, terutama menelusuri jejak Mataram Islam dengan raja yang pertama bernama Panembahan Senapati. Memasuki wilayah Kotagede seperti tersedot ke abad 16: Masjid Agung Mataram, Kompleks Makam Panembahan Senapati, dan situs bersejarah Watu Gilang.

Apa itu Watu Gilang? Ia adalah batu hitam persegi berukuran sekitar 6 X 5 jengkal dengan ketebalan kurang lebih 10 cm. Batu hitam ini diyakini sebagai singgasana Panembahan Senapati. Ia diletakkan di sebuah bangunan yang untuk masuk ke dalamnya mesti menghubungi juru kuncinya dulu.

Di salah satu sisi batu hitam tersebut terdapat sebuah retakan dan legokan (cekungan), bekas benturan kepala. “Watu Gilang ini digunakan oleh Panembahan Senapati untuk membunuh menantunya, Ki Ageng Mangir yang juga musuh bebuyutannya. Syahdan, Ki Ageng Mangir datang menghadap Panembahan Senapati sebagai seorang menantu. Pas ia menghaturkan sungkem, Panembahan Senopati membenturkan kepala Ki Ageng Mangir ke Watu Gilang. Maka ia meninggalkan bekas di Watu Gilang berupa legokan ini,” ujar juru kunci sambil mengelus-elus cekungan di salah satu sisi batu hitam itu.

Di ruang sebelah, terdapat tiga batu bulat yang dinamakan Watu Gatheng. Dua batu besarnya melebihi bola sepak, dan sebuah lagi sebesar biji kelapa yang sudah dikupas kulitnya. Watu Gatheng adalah batu-batu untuk mainan lempar batu (gatheng) Raden Ronggo, putra Panembahan Senapati. Di sebelahnya, terdapat gentong batu dengan bekas tusukan jemari Raden Ronggo. Ya, Raden Ronggo memang anak yang sakti.

Destinasi berikutnya kami mampir ke Masjid Agung Mataram untuk shalat asar. Di sebelah kiri masjid terdapat kompleks makam Panembahan Senapati. Sayangnya, makam ditutup sehingga kami tak bisa masuk ke dalamnya. Di dalam kompleks makam ini terdapat jasad Panembahan Senapati, Panembahan Sedo Krapyak, Hamengku Buwana II (Sultan Sepuh),  Paku Alam I, II, III, dan IV, Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram), Ki Juru Mertani, Nyai Ageng Nis (isteri Ki Ageng Pemanahan), Panembahan Jayaprana, Datuk Palembang, serta jasad Ki Ageng Mangir yang sebagian tubuhnya berada di luar bangsal.

Namun, kami sempat menengok ke Sendang Seliran Lanang untuk melihat lele bule yang ukuran tubuhnya sangat besar dan lele hitam berukuran besar juga (panjang sekitar 100 cm).

Saat menapaki kompleks makam mata saya terpaku pada sebuah papan pengumuman tata cara masuk makam (bagi wanita). Di sana tergambar wanita berkemben kain batik (dengan bahu terbuka), dan tentu saja ditambahi tulisan larangan menggunakan penutup kepala/jilbab. Sepertinya setelah Kerajaan Islam Demak runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Pajang dengan Hadiwijaya sebagai rajanya, unsur kejawen menjadi bagian dalam tata kelola kerajaan. Unsur kejawen dan mistis makin kental saat Mataram berdiri sebagai kerajaan, salah satu contohnya kisah tentang hubungan asmara Ratu Kidul Penguasa Laut Selatan dengan Panembahan Senapati atawa kisah pertarungan Raden Ronggo melawan dhemit penguasa Gunung Merapi.

Nanti kita bandingkan saat saya berziarah ke makam Sultan Fatah di samping Masjid Agung Demak, masjid yang didirikan oleh para wali.