Warung ustadz Arman

Kami memanggilnya ustadz Arman. Ia menjadi marbot di masjid kami sejak sekitar enam atau tujuh tahun lalu. Karena masjid kami berada di tanah yang diperuntukkan bagi fasos/fasum, maka oleh pihak pengurus masjid berinisiatif membikinkan kamar baginya yang bersebelahan dengan aula majelis taklim.

Selain menjaga kebersihan masjid, ia juga bertugas mengumandangkan adzan dan menjadi imam cadangan jika ustadz yang bertugas sebagai imam berhalangan. Awalnya kami memanggilnya Arman saja, namun sejak ia mengajar mengaji anak-anak kompleks perumahan di sore hari, kami memanggilnya dengan ustadz, mengikuti anak-anak kami.

Dalam perjalanan waktu, ustadz Arman menikahi gadis pujaan hatinya, seorang perempuan yang sepenuh aktifitasnya untuk keperluan dakwah. Ia bersama istrinya itu tinggal di kamar di sebelah masjid. Istri ustadz Arman aktif di pengajian ibu-ibu. Suara merdunya saat melantunkan ayat-ayat Quran telah mencuri hati para ibu majelis taklim sehingga ia dilibatkan dalam setiap acara pengajian. Belakangan, ia membantu suaminya mengajar mengaji anak-anak.

Mereka pun akhirnya mempunyai anak. Untuk memenuhi kebutuhan dapurnya, atas izin pengurus masjid, ustadz Arman membikin warung kelontong kecil-kecilan di samping kamarnya. Cukup laris, apalagi jika pagi hari istri ustadz Arman berjualan nasi uduk.

***

Pada suatu hari, ustadz Arman yang tengah terbaring sakit mendapatkan kejutan manis. Ada seseorang yang mengajaknya berangkat umrah. Entah perasaan macam apa yang ada di dadanya ketika mendengarkan kabar tersebut.

Akhir tahun lalu, ia berangkat ke Tanah Suci. Di sana ia berdoa habis-habisan, tak tanggung-tanggung doa yang ia panjatkan kepada Gusti Allah. Sepuluh hari berada di Tanah Suci berasa kurang lama.

Begitu ia pulang ada kejutan lagi, kali ini kejutan pahit. Pasalnya, warung miliknya dibongkar oleh pengurus RW tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Alasan pembongkaran karena lokasi warung tersebut terkena pondasi gedung balai warga yang akan dibangun pengurus RW.

Semalaman istrinya menangis di pangkuannya, memikirkan nasib warungnya yang telah tiada. Ini ujian pertama sepulang aku pulang umrah, kata hatinya.

Seminggu kemudian datang sebuah uluran tangan dari seseorang yang rumahnya ada di barat masjid. Ia mempersilakan ustadz Arman mempergunakan teras rumahnya untuk berjualan. Alhamdulillah.

Bangunan balai warga pun berdiri kokoh. Tapi mengapa masih ada material sisa cukup banyak? Lalu mengapa pula ada beberapa tukang yang menggali pondasi tak jauh dari balai warga? Apa yang akan mereka bangun lagi?

Tak sampai sebulan, bangunan yang ukurannya tak terlalu besar itu pun selesai sudah.

Ustadz Arman yang tengah membersihkan teras masjid dipanggil oleh pengurus masjid.

“Man, ada seseorang yang baik hati telah membangunkan sebuah warung yang kokoh untukmu,” kata ketua pengurus masjid.

Ustadz Arman segera melakukan sujud syukur. Inikah jawaban atas doaku di Tanah Suci kemarin dulu?