Wajan

Dalam perjalanan dari Anyer setelah tiga hari training, Mas Kandam membawakan oleh-oleh yang unik buat istri tercinta. Bukan makanan khas wilayah Banten, namun sebuah wajan nan cantik yang ia beli di pinggiran jalan raya pos bikinan Daendels di zaman kolonial dulu.

Istilah wajan sering digunakan masyarakat di Pulau Jawa – termasuk Jakarta, berasal dari kata waja yang dalam bahasa Jawa berarti baja atawa besi. Wajan disebut pula sebagai penggorengan. Di daerah lainnya menggunakan istilah Melayu asli yakni kuali. Sedangkan di  Jawa kata kuali lebih merujuk ke panci yang terbuat dari tanah liat.

Sesampai di rumah, oleh Mas Kandam wajan yang berwarna perak itu diberikan kepada istrinya. Sorak-sorak bergembirakah istri Mas Kandam mendapatkan buah tangan berupa wajan?

“Beli wajan di mana, Mas?”

“Di sekitaran Tangerang.”

“Hah!!!”

“Kenapa terkejut begitu?”

“Mas nggak denger atawa lihat berita mengenai perbudakan di pabrik wajan? Bukankah pabrik yang digrebek itu adanya di Tangerang? Oh, tidak. Wajan ini pasti ada unsur keringat dan darah anak-anak yang dipaksa jadi pekerja di pabrik wajan itu!”

“Berita apa? Perbudakan macam apa? Mosok di zaman kemerdekaan begini masih ada perbudakan, sih?”

Ealah Mas… acara training-nya apa padat sekali, hingga Mas Kandam nggak sempat baca koran atawa lihat televisi? Wis, aku emoh memakai wajan ini. Titik.”

Mas Kandam tertegun. Sedemikian dahsyat pengaruh berita perbudakan tenaga kerja hingga istrinya betul-betul menolak wajan yang ia beli. Saking penasaran, Mas Kandam mencari berita tentang kasus perbudakan di Tangerang di media online.

Fakta yang disajikan memang mengerikan sekaligus menimbulkan tanda tanya besar di kepala Mas Kandam. Anak-anak dipaksa bekerja dari pagi hingga malam untuk memproduksi wajan. Mereka dijanjikan gaji tiga ratus ribu per bulan, tetapi akan dibayarkan nanti sekaligus enam bulan. Untuk tidur mereka – ada puluhan anak – disediakan kamar sempit, yang kalau tidur berdesak-desakkan. Mereka tidak diperbolehkan keluar pabrik. Jika ada yang kabur dan tertangkap, tubuhnya akan babak belur oleh siksaan centeng-centeng yang digaji oleh, sebut saja,  Bos Kuali. Mereka terisolir dengan dunia luar. Kondisi kesehatan kulit para pekerja pun memprihatinkan, karena jarang mandi dan ganti pakaian. Wong pakaian yang mereka bawa disita oleh Bos Kuali. Nggak hanya pakaian yang disita, juga hape milik mereka. 

Konon, Bos Kuali menggaji serdadu untuk mengamankan usahanya. Serdadu itu sesekali ikut memermak karyawan yang mencoba kabur.  

Mas Kandam menilai janggal dengan bisnis Bos Kuali ini. Berapa sih omset pabrik panci skala home-industry semacam itu? Lagi pula orang membeli wajan belum tentu setahun sekali, bukan? Kadang wajan penyok-pun masih dipakai oleh para ibu rumah tangga. Kok, Bos Kuali mampu membayar serdadu yang katanya jumlahnya nggak cuma dua atawa tiga petugas? Jangan-jangan bisnis wajan hanya kamuflase belaka. Bisnis ilegal, pabrik narkoba misalnya.

Ingatan Mas Kandam belum lepas dari hingar-bingar peringatan Mayday kemarin. Lha, para pengurus serikat buruh yang berkoar-koar memperjuangkan nasib para anggotanya, kok hidung mereka nggak mengendus ada tindakan perbudakan di Tangerang ya? Terus pengurus RT, RW atawa pihak Kelurahan juga nggak tahu ada sebuah pabrik wajan yang menyekap karyawannya, ya? Bagaimana pula dengan pengawasan aparat pemerintah terhadap home-industry semacam itu? Sudah sedemikan cuek-kah kita terhadap lingkungan sekitar?

Wajan yang dibanting keras dari arah dapur telah membuyarkan lamunan Mas Kandam.