Wahyu keraton ada di kelapa muda

Alkisah, tlatah Gunung Kidul yang masuk wilayah kekuasaan Kerajaan Demak Bintoro waktu itu sedang dilanda musim kemarau panjang empat belas bulan. Nun di salah satu desanya, hidup seorang lelaki pensiunan prajurit Kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya yang bernama Ki Ageng Giring. Nama Giring disematkan kepadanya karena ia tinggal di dusun Giring. Kegiatan utama Ki Ageng Giring saban harinya berkebun.

Suatu hari, sepulang dari kebunnya ia melewati kebun milik Ki Buntuluaji, sesepuh desa yang punya kewaskitaan tingkat tinggi. Ketika ia melewati sebuah pohon kelapa terdengar suara gaib, “Barangsiapa yang meminum air kelapa ini anak keturunannya akan menjadi raja-raja di tanah Jawa”. Ki Ageng Giring celingukan, mencari dari mana datangnya suara itu. Ia melihat pohon kelapa yang kondisinya sangat buruk, daun-daunnya kering, batangnya kecil namun di atas sana terdapat satu buah kelapa yang sangat ranum.

Tanpa pikir panjang ia panjat pohon kelapa itu dan memetik buah kelapa yang cuma satu-satunya yang tumbuh di sana. Sesungguhnya, Ki Buntuluaji mengetahui keberadaan wahyu keraton di tersimpan dalam buah kelapa, tapi ia tak menyangka kalau letak wahyu keraton sangat dekat dengannya. Maka, ketika ia juga mendengar suara gaib, buru-buru ia mendekatinya namun terlambat karena buah kelapa terlanjur dipetik dan dibawa pulang oleh Ki Ageng Giring.

Giring, kenapa kamu tidak minta izin kepadaku terlebih dahulu? Perbuatan yang tak pantas dilakukan oleh siapapun, apalagi orang yang pernah mengabdi di Majapahit sepertimu. Aku tidak rela kamu meminum air kelapa yang menjadi milikku.

Ki Buntuluaji mengutuk.

***

Sampai di rumah, Ki Ageng Giring segera membelah kelapa muda yang dibawanya itu. Ketika ia akan meminumnya, ia teringat kalau cangkul miliknya masih tertinggal di kebunnya. Ia pamit ke istrinya untuk mengambil cangkul. Sebelum pergi ia berpesan kepada istrinya, “Nyai, siapa pun tak boleh meminum air kelapa ini. Aku akan meminumnya setelah pulang mengambil cangkul.” Ki Ageng Giring menaruh kelapa muda yang sudah terbelah itu di atas balai-balai.

Syahdan, siang itu Ki Ageng Giring kedatangan tamu dari Pajang. Ia adalah seorang sahabat lama Ki Ageng Giring yang bernama Ki Ageng Pemanahan.

Oalah dimas Pemanahan to iki, mangga-mangga pinarak. Anu, Kangmas Giring sedang di kebun sebentar lagi datang kok!” sapa Nyai Ageng Giring ramah.

Inggih mbakyu matur nuwun. Saya akan menunggu Kangmas Giring. Hawong lama banget tidak bertemu, je. Uff, hawanya panas sekali ya mbakyu. Oh, kebetulan ada degan klapa ijo. mBakyu, banyu degane saya minum ya?” Ki Ageng Pemanahan segera meraih kelapa muda itu dan menenggak airnya. Tandas.

“Aduh dimas, degan itu miliknya Kangmas Giring. Tadi ia berpesan siapa pun tak boleh meminumnya. Piye iki, dimas?” raung Nyai Giring.

Ya’ elah mBakyu, biarin nanti Kangmas Giring memetik kelapa lagi,” ucap Ki Ageng Pemanahan enteng.

***

Ki Ageng Giring hanya bisa tertegun menyaksikan air kelapa muda miliknya habis ditenggak sahabatnya. Ia hanya pasrah, semua sudah menjadi kehendak Gusti Allah.

“Dimas Pemanahan, sampeyan tahu nggak kalau banyu degan ini ada wahyu keraton. Siapa pun yang meminumnya, kelak anak-keturunannya akan menjadi raja-raja di Tanah Jawa. Karena dimas yang minum, anak sampeyan akan menjadi raja. Tetapi bagaimana pun, aku ikut berperan meraih wahyu keratonmu. Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?” kata Ki Ageng Giring.

“Perjanjian macam apa Kangmas?” tanya Ki Ageng Pemanahan.

“Begini. Bagaimana kalau yang menjadi raja nanti secara selang-seling. Raja pertama dari keturunanmu, raja kedua dari keturunanku, begitu seterusnya…,” papar Ki Ageng Giring, dengan hati was-was.

Ki Ageng Pemanahan menggelengkan kepala, tanda tidak setuju. Ki Ageng Giring menawarkan usulan baru, selang-seling setiap dua turunan. Lagi-lagi, Ki Ageng Pemanahan menggelengkan kepalannya.

Yo wis kalau begitu, bagaimana kalau aku minta turunan ketujuh?” Ki Ageng Pemanahan tetap berupaya agar keturunannya bisa menjadi raja.

“Kangmas Giring, aku tak bisa menjawabnya. Aku nggak tahu apa yang terjadi di belakang hari nanti,” tutur Ki Ageng Pemanahan yang kemudian mohon diri untuk kembali ke Pajang.

***

Sejarah kemudian mencatat, raja Tanah Jawa (Mataram) yang pertama memang anak Ki Ageng Pemanahan yang bernama Sutawijaya atau Panembahan Senapati. Baru nanti raja ketujuh merupakan keturunan Ki Ageng Giring, yakni Pangeran Puger yang ketika menjadi raja bergelar Paku Buwono I.