VOC masa kini

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Vereenigte Oost-Indische Compagnie) dengan baju baru”. (Kutipan pidato Bacharuddin Jusuf Habibie pada Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2011 di depan sidang MPR RI)

Empat atawa lima tahun yang lalu, saya berkenalan dengan Mas Londo yang ingin mendirikan sebuah pabrik di wilayah sekitar-sekitar sini. Ia berumur jauh lebih muda dari saya, selisih hampir sepuluh tahun. Dari perbincangan dengannya, ia berbisnis rempah-rempah. Ketika saya tanya apakah bisnis ini serta merta ia geluti atawa warisan dari orang tuanya, ia menjawab bahwa memang dari moyangnya dulu ia berbisnis rempah-rempah.

Ia menjelaskan secara sepintas tentang bisnisnya. Perusahaannya mengambil bahan baku dari wilayah timur Nusantara, lalu diolah dan dikemas di pabriknya kemudian hasilnya diekspor ke negeri Eropa. Mas Londo hanya tersenyum ketika saya berkomentar kalau bisnisnya seperti VOC jaman dulu.

Minggu lalu, Mas Londo datang dengan muka masam mengajukan sebuah complaint. Libur panjang Harpitnas yang seharusnya dinikmati oleh para cantrik Padeblogan, terpaksa digunakan untuk menyelesaikan complaint yang diajukan Mas Londo.

~oOo~

“Pap, ekspedisi pertama kapal dagang Belanda datang ke Nusantara dipimpin oleh siapa?” tanya Lila sambil menunjukkan buku PR IPS-nya.

“Cornelis de Houtman, pada tahun 1596,” saya menjawab pertanyaan itu tanpa melihat bukunya. Maklum, nama ini begitu terpatri di fikiran saya sejak jaman sekolah dulu. “O iya, Lil. Maukah kamu pap ceritakan tentang Cornelis de Houtman ini?”

Pada tahun 1595 terbit sebuah buku karya Jan Huygen van Linshoten yang berjudul Iti-nerario naer Oost ofte Porugaels Indien – Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis. Buku ini berisi berbagai peta dan deskripsi rinci mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis, lengkap dengan segala permasalahannya. Buku ini jadi best seller. Meskipun laris manis, tetapi hal itu membuat berang bangsa Portugis. Mereka menaruh dendan kepada bangsa Belanda. Gara-gara buku ini, banyak pengusaha dan penguasa Belanda yang menyempurnakan kapal-kapalnya agar bisa menjarah hasil kekayaan bumi di bagian selatan yang kaya raya itu, sebesar-besarnya.

Syahdan, untuk pertama kalinya Belanda mengirim satu ekspedisi pertama mereka menuju Nusantara yang terdiri atas empat kapal dan 249 awak yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman, seorang Belanda yang pernah bekerja lama di Lisbon, Portugis. Pada bulan Juni 1596, Cornelis de Houtman mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Banten di mana waktu itu merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa. Lalu, rombongan Cornelis de Houtman menyusuri pantura pulau Jawa dan Madura.

Setahun kemudian, 1597, Cornelis de Houtman kembali ke Belanda dengan membawa tiga kapal penuh dengan rempah-rempah dan barang berharga lainnya. Pada ekspedisi kali ini ia kehilangan satu kapal dan menyisakan 90-an awak kapal. Konon, Cornelis de Houtman ini bukan seorang pemimpin yang baik dan tidak cakap. Karena sombong ia dimusuhi banyak kalangan. Bisa dibayangkan, Cornelis de Houtman yang tidak cakap saja bisa membawa rempah-rempah sebanyak itu, apalagi bagi yang cakap. Nah, inilah yang membuat banyak pedagang Belanda yang berlomba-lomba membangun armada kapal lebih besar dan canggih. Dalam setahun setelah kepulangan Cornelis de Houtman paling tidak ada dua puluh dua kapal milik perusahaan Belanda yang siap diberangkatkan ke Nusantara.

Pada tahun 1599 salah satu armada kapal Belanda tiba di Maluku, di bawah pimpinan Jacob van Neck dan Wybrecht van Warwijch. Ketika mereka kembali ke Belanda dengan membawa rempah-rempah yang banyak, mereka menghitung laba yang mencapai jumlah fantastis: 400 persen! O la la. Inilah yang memacu dan memicu perusahaan-perusahaan Belanda lainnya untuk mengirim armada ke Nusantara. Maka, terjadilah persaingan di antara mereka yang menyebabkan harga rempah-rempah turun. Mereka saling menyalahkan. Karena terdesak oleh keadaan, atas usaha seorang advokat Belanda yang bernama Johan van Oldenbarnevelt, para pedagang bersatu dan pada 20 Maret 1602 dibentuklah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) – Perserikatan Maskapai Dagang Hindia Timur.

~oOo~

“Semua gara-gara buku Iti-nerario naer Oost ofte Porugaels Indien itu ya pap?” tanya Lila.

“Ya, bisa dikatakan begitu,” jawab saya sambil membayangkan wajah Cornelis de Houtman seperti wajahnya Mas Londo yang berkacak pinggang di pendapa Padeblogan minggu yang lalu.