Di sebuah gubuk reyot, sepasang suami istri sedang bercengkerama tentang nasib yang dialaminya. Mereka hidup miskin sefakir-fakirnya. Pernyataan bahwa fakir mendekati kufur, rupanya benar.
“Bagaimana kalau kita cari pesugihan, pak?”
“Ke mana?”
“Kata orang, ke puncak gunung Sindur di sana ada mBah Jamprong!”
~oOo~
Mereka cari hutangan ke tetangga untuk sangu perjalanan ke gunung Sindur. Naik bus AKAP jurusan selatan, disambung angkot, lalu menuju pesanggrahan mBah Jamprong mesti jalan kaki, karena jalanan mendaki dan licin.
“Apa mau kalian datang ke sini?”
“Cari pesugihan, mBah.”
“Sudah tahu syarat dan uba rampenya, belum?”
“Uba rampenya sudah ada mBah, tapi syarat lain kami belum paham.”
mBah Jamprong mengamati uba rampe yang mereka keluarkan dari tas kresek hitam. Lalu, oleh mBah Jamprong dipungutnya uba rampe itu, satu per satu dibakar di anglo yang dipenuhi lelehan dupa. Mulutnya komat-kamit. Tak lama, muncul sesosok tuyul.
“Bocah ini yang akan menjadi pesugihan kalian!”
“Apa syaratnya, mBah?”
“Setiap malam jumat pon dan jumat kliwon istrimu harus menyusui bocah ini, sanggup?”
“Inggih, mBah.”
~oOo~
Tuyul bereaksi. Hasil yang dibawa setiap malam jumat pon dan jumat kliwon tak seberapa. Maklum, tuyul yang diberikan oleh mBah Jamprong level beginner. Ia menyusup ke rumah-rumah tetangga desa yang kondisinya lebih kaya sedikit dari tuannya.
“Kasihan juga tetangga kita pak, kalau setiap malam jumat si thole mengambil harta mereka.”
“Terus bagaimana?”
~oOo~
Mereka kembali ke pesanggrahan mBah Jamprong, mengembalikan si thole yang selama ini mengabdi kepada mereka. Bukan sekedar mengembalikan, tetapi menukar dengan tuyul yang levelnya lebih advanced. Uba rampe yang dibawa juga lebih rumit. Syarat yang dipenuhi lebih berat: menukar dengan nyawa salah satu anak mereka.
~oOo~
Tugas si thole yang lebih advanced ini mencuri harta para koruptor. Konon, untuk menghindari monitoring yang dilakukan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan) para koruptor menyimpan hartanya dalam bentuk cash atawa menjadi emas batangan. Sesekali si thole membawa hasil yang sangat banyak. Padahal ia mencuri dari para koruptor kelas teri.
Penghidupan keluarga suami-istri itu pun segera meningkat tajam. Berita-berita mengenai korupsi pejabat menjadi santapan pagi sang suami. Ia akan segera melacak alamat sang koruptor dan memerintahkan si thole memburu harta karun sang koruptor. Begitu seterusnya. Harta bertambah, satu persatu anak mereka menjadi tumbalnya. Kini, mereka hanya tinggal berdua dan ditemani oleh tuyul kesayangannya.
~oOo~
Dua hari telah berlalu dari malam jumat kliwon. Si thole belum juga pulang ke rumah. Suami-istri tersebut harap-harap cemas: kali ini seberapa besar harta haram yang akan dibawa oleh si thole nanti?
Malam kelima si thole datang. Tidak ada harta yang dibawa. Tubuh si thole babak belur.
“Ada apa le, kenapa tubuhmu mengenaskan seperti ini?” Suami-istri itu cemas.
“Sialan. Koruptor yang bapak rekomendasikan untuk dicuri uangnya ternyata memelihara iblis bertanduk untuk menjaga harga haramnya. Ketika aku masuk pekarangan rumahnya, iblis bertanduk itu meringkus dan menyiksaku hingga babak belur seperti ini. Aku ingin mengembalikan tubuhku hingga utuh kembali!”
Mata tuyul berubah menjadi merah, mulutnya mengeluarkan taring. Jari-jari tangannya tumbuh cakar yang tajam dan panjang. Ia segera menghampiri suami-istri yang gemetar ketakutan di sudut kamar.
Tuyul menerjang dan menerkam, lalu menghisap darah suami-istri itu hingga habis, tanpa menyisakan setetes pun.
Mereka tewas. Tersisa kulit dan tulangnya saja.