Lanjutan dari Kyai Sala dan Mayat Raden Pabelan.
Prajurit yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya untuk memanggil Tumengung Mayang tak perlu mengulur waktu, saat itu juga ia menuju kediamanan Tumenggung Mayang. Perasaan Tumenggung Mayang campur aduk, mengapa ia dipanggil menghadap sultan secara mendadak seperti itu.
“Sampeyan tidak becus mendidik anak. Pabelan telah berani masuk keputren dan berhasil menggoda putriku. Beteng keputren yang sudah dilapisi kekuatan gaib bisa ditembus oleh Pabelan karena ia telah sampeyan bekali ilmu kesaktian!”
Sultan Hadiwijaya meluapkan kemarahannya. Tumenggung Mayang hanya bisa menunduk. Memang benar apa yang dituduhkan junjungannya itu, ia memberi sebuah kesaktian kepada anak lelakinya itu supaya bisa menembus beteng keputren.
“Pabelan sudah aku bunuh dan mayatnya dibuang di Bengawan Laweyan. Sebagai hukuman untukmu, segera tinggalkan Pajang. Sekompi prajurit akan mengantarkanmu ke Semarang untuk menjalani hukuman buang.
Tumenggung Mayang menceritakan kepada istrinya perihal pertemuannya dengan sultan yang menghukum dirinya untuk dibuang ke Semarang. Istri Tumenggung Mayang sangat sedih. Ia pun segera mengirim kabar duka ini kepada kakaknya di Mataram, yang tak lain adalah Panembahan Senapati.
Begitu mendengar kabar tersebut dari adiknya, ia segera memerintahkan para prajurit terbaik Mataram untuk mencegat dan merebut Tumenggung Mayang dari kawalan prajurit Pajang yang sedang bergerak menuju Semarang.
Pasukan Mataram dengan sangat mudah dapat merebut dan mengamankan Tumenggung Mayang. Ia bersama istrinya dibawa ke Mataram dan di bawah perlindungan Panembahan Senapati.
Sultan Hadiwijaya murka mendengar berita kalau Tumenggung Mayang diselamatkan oleh Senapati, anak angkatnya yang kini menjadi penguasa Mataram. Sultan Hadiwijaya dengan penuh emosi langsung memberangkatkan pasukan yang ia pimpin sendiri ke Mataram. Ia ingin memberi pelajaran Senapati.
Di sekitar Prambanan terjadi perang. Pasukan Pajang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Senapati yang jumlahnya lebih sedikit. Dalam perjalanan pulang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan tak lama kemudian ia meninggal. Ia meninggalkan wasiat kepada anak-anaknya agar memperlakukan Senapati dengan baik dan menganggapnya sebagai kakak sulung yang harus dihormati.