Judul: Gemblak, Tragedi Cinta Budak Homoseks • Penulis: Enang Rokajat Asura • Penerbit: Edelweiss, 2008 • Tebal: 262 hal
Novel yang beberapa bagiannya ini pernah dipublikasikan dalam cerita bersambung Tabloid Nova ini, memberikan gambaran yang cukup detil mengenai kehidupan seorang warok. Gemblak adalah anak lelaki peliharaan seorang warok untuk mempertahankan kesaktiannya. Tugas utama gemblak adalah melayani kebutuhan seks seorang warok.
Gemblak, jimat dan reyog, tiga hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan warok. Penggemblakan merupakan praktek homoseksual yang diterima begitu saja, bahkan diakui oleh sebuah masyarakat di daerah Jawa Timur sebagai bagian tradisi mereka. Tradisi “cabul” semacam ini sepertinya dilegitimasi oleh masyarakat sebagai suatu tradisi yang harus dilestarikan. Contoh lain, misalnya tradisi bukak kelambu bagi seorang ronggeng, yaitu tradisi “memerawani” seorang ronggeng yang masih gadis yang dilakukan dengan cara dilelang, siapa yang berani bayar mahal dialah yang berhak mendapatkan keperawanan si ronggeng (kisah ini diangkat menjadi sebuah novel Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari). Atau tradisi melakukan “persetubuhan” dengan orang lain di wilayah Gunung Kemukus Sragen untuk mendapatkan berkah dan kekayaan, yang sebenarnya hal itu merupakan bentuk prostitusi terselubung.
Tradisi gemblak inilah yang diceritakan oleh penulisnya. Bermula dari himpitan ekonomi dan pesoalan sosial, di mana kemiskinan selalu dikalahkan oleh orang-orang kaya, Sapto Linggo, sang tokoh utama harus merelakan dirinya menjadi seorang gemblak Hardo Wiseso, warok sakti mandraguna dari daerah Maguan. Sapto Linggo menjadi gemblak kesayangan Wiseso.Dia dimanjakan bahkan disekolahkan oleh Wiseso.
Di satu sisi, Hardo Wiseso melanggar pantangan yang ditetapkan oleh leluhurnya, bahwa seorang warok dilarang mempunyai istri, bahkan mempunyai anak yang bernama Lastri. Sapto Linggo kerap disiksa oleh Wiseso setelah ketahuan kalau dia jatuh cinta kepada Lastri, anak perempuannya. Akhirnya, Sapto Linggo dan Lastri, minggat dan kawin tanpa restu Wiseso. Persoalan tidak berakhir di situ, ternyata dendam kesumat masih ada di dada Wiseso. Prapto, adik Sapto Linggo dipaksa oleh Wiseso untuk dijadikan gemblaknya. Lagi-lagi, orang lemah dikalahkan oleh kekuasaan seorang warok.
Meskipun nantinya Wiseso tewas dalam pertempuran dengan kakak seperguruannya, Eyang Legong, tetapi Sapto dan Lastri mendapatkan karma. Anak mereka, yang diberi nama Toenggoel, kulitnya hitam, kepalanya lebih besar dari ukuran normal dan matanya juga menonjol keluar. Kakinya juga bengkok. Bahkan semakin diperhatikan ternyata tubuh anaknya itu dipenuhi dengan bulu yang lebat. Ia lebih mirip topeng dalam reyogan. Inikah karma, akibat kelakuannya sebagai gemblak di masa lalu? Apa ini peringatan karena telah menikahi Lastri tanpa izin orang tuanya? Kenapa kesombongan dan keangkuhan Wiseso, harus diperhitungkan dengan memberinya anak yang cacat?
Sayang, novel bagus ini tidak diimbangi dengan mutu cetakan dan masih banyak salah cetak serta rancunya penggunaan kata “aku” dan “saya” terutama dalam percakapan antara Sapto Linggo dan simboknya.